Perlahan Usai

Jumat 03 Nov 2023 - 22:24 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

Oleh: Laya Zahrani Eka Putri, SMA IT Baitul Muslim

Cahaya matahari menerobos celah jendela kamar tanpa permisi, membuat Meira terbangun dari tidur. Mau tidak mau, gadis cantik itu harus memulai aktivitasnya kembali. Meira pun berjalan terhuyung ke arah kamar mandi. Maklum, nyawanya seolah belum terkumpul secara utuh.

Saat membuka pintu kamar mandi, Meira sangat terkejut karena melihat seorang lelaki berada di dalamnya. Meira seketika berteriak. Teriakannya itu membuat burung-burung yang sedang bertengger di dahan pohon ikut terbang menjauh. Bagaimana tidak? Ada sosok lelaki asing yang menyelinap masuk ke rumahnya. “Bagaimana ia bisa masuk?”   pikir Meira lagi.

Namun, lelaki itu sama sekali tidak terkejut. Ia malah memutar badannya, menghadap ke arah Meira, lalu tersenyum. Seketika, bulu kuduk Meira berdiri. Ia merinding. Bayangkan saja! Ada seorang lelaki tak dikenal berada di dalam kamar mandi secara tiba-tiba. Bukankah itu sangat menyeramkan?

“Halo, maaf telah mengejutkanmu,” sapa lelaki itu.

Meira mengernyit, “Siapa kamu?”

Dengan santai, lelaki itu menjawab, “Saya tersesat.”

“Apa? Bagaimana mungkin kamu bisa tersesat di kamar mandi orang? Bisakah kamu menjelaskannya?” cecar Meira.

Lelaki itu menatap Meira, “Saya bisa menjelaskannya, tapi saya yakin kamu nggak akan percaya.”

Meira menarik napas perlahan, mencoba untuk menenangkan diri. Haruskah ia melaporkan lelaki itu ke polisi? Atau dibiarkan saja? Kelihatannya, lelaki itu memang tidak berniat jahat kepadanya.

“Jelaskan saja! Percaya atau tidaknya, itu urusan belakangan,” perintah Meira.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis, “Baiklah, saya akan menjelaskannya.” Sesaat ia terdiam. “Saya tidak bisa menyebut diri saya manusia, tapi saya juga tidak bisa menyebut diri saya sebagai hantu atau malaikat. Yang pasti, saya diberi tugas membantu manusia untuk menyelesaikan segala permasalahan dalam dirinya. Sebenarnya, target saya bukanlah kamu. Akan tetapi, saya percaya takdir. Dengan berada di sini, saya yakin kalau kamu perlu bantuan,” jelas lelaki itu.

Mendengar penjelasan lelaki itu, Meira berpikir keras. “Apa? Jika bukan manusia, hantu, atau malaikat, lalu dia ini apa? Dia datang dan ingin membantu menyelesaikan masalah? Sebenarnya, dia ini siapa?” pikir Meira.

“Kamu pasti sedang mikir banget, ya?” Pertanyaan lelaki itu membuyarkan lamunan Meira.

“Menurutmu? Mana ada orang yang nggak mikir keras setelah mendengar penjelasan dari makhluk asing sepertimu ini,” sahut Meira kesal.

Lelaki itu terkekeh pelan, “Jadi, bagaimana? Mau saya bantu untuk menyelesaikan masalahmu itu?”

Meira kembali berpikir. Ya, kenangan buruk itu berputar lagi di kepalanya. Membuat ia meringis, mengingat betapa sakit dirinya saat itu.

Haruskah ia menerima tawaran lelaki itu? Akankah kenangan itu bisa pergi dari ingatannya? Sudah lama sekali ia ingin menjalani kehidupannya dengan tenang. Ya, tenang! Ah, rasanya ia sudah lupa seperti apa rasa tenang itu sendiri.

Meira akhirnya tersenyum. Menatap lelaki itu dengan dalam, “Baiklah, aku mau. Sebelum itu, siapakah namamu?”

“Panggil saja aku, Vin.”

Meira mengangguk, “Oke, Vin. Namaku, Meira.”

Vin balas mengangguk. “Saya tunggu kamu di teras depan. Segeralah mandi, saya akan ajak kamu keliling-keliling.”

***

“Kamu mau ajak aku ke mana, sih?” tanya Meira penasaran.

“Tenang saja. Pasti sudah lama kamu enggak jalan-jalan kayak gini, kan?”

Meira menyetujuinya. Mereka pun berjalan kaki menuju suatu tempat yang hanya diketahui oleh Vin. Ia akan melakukan rencana pertamanya.

Setelah sepuluh menit berjalan, mereka berdua pun sampai di sebuah danau dengan air berwarna biru menyala. Aneka bunga tumbuh subur di sekelilingnya. Sangat indah! Bahkan, Meira tidak sempat berkedip sama sekali melihat pemandangan itu saking indahnya.

“Aku enggak pernah tahu kalau ada tempat seindah ini,” ucap Meira.

Vin tersenyum. “Itu karena kamu masih terjebak masa lalumu, Meira.”

Meira menoleh, menatap Vin penuh iba. “Beri tahu aku gimana caranya, Vin. Aku memang tidak bisa melupakannya.” Meira pun tertunduk.

“Tenang, Meira. Saya janji, saya akan bantu kamu.”

Vin kemudian berjalan ke tepi danau. Ia pun duduk di sana. Tanpa disuruh, Meira mengikuti Vin. Meira kemudian duduk di samping Vin.

“Meira, boleh aku bertanya?”

Meira pun mengangguk. Mengosongkan pikirannya. Bersiap mendengarkan Vin.

“Apa yang paling kamu takuti di dunia ini, Mei?” tanya Vin serius.

Meira menghela napas sesaat, “Kehilangan.”

“Selain kehilangan?”

Meira menggeleng. Tidak ada lagi yang ia takuti. Menurut Meira, kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan. Kehilangan membuatnya kesepian. Kehilangan membuatnya tak tahu arah. Kehilangan menyebabkan dirinya frustasi.

“Mau kukasih tahu sesuatu?” tanya Vin.

“Mau.” Meira menjawab dengan singkat.

Vin menatap ke arah danau dan tersenyum. “Kehilangan itu nggak selamanya buruk, Mei. Memang awalnya nyakitin, tapi bisa aja dari rasa sakit itu kamu dapat hikmahnya.” Vin menjeda ucapannya. Membuat Meira menunggu, apa yang akan diucapkan oleh Vin selanjutnya.

“Kamu terlalu fokus pada rasa sakit itu. Makanya, masa lalu itu nggak pernah lepas dari pikiranmu.”

Meira tertunduk memikirkan perkataan Vin. Apakah benar ia terlalu fokus dengan masa lalu itu? Tapi, melupakan sesuatu yang buruk tidak semudah itu, kan? Apalagi ini menyangkut keluarganya.

“Nggak semudah itu, Vin.” Meira akhirnya berbicara. Kali ini dengan air mata yang jatuh membasahi pipinya. Seketika kenangan itu berputar lagi. Membuat rasa sesak di dadanya. Entah sampai kapan ia akan terjebak oleh kenangan itu. Padahal, sudah lima tahun berlalu sejak kejadian itu menimpanya.

Vin mengangguk-angguk, mencoba memahami perasaan Meira. “Apakah selamanya kamu mau terjebak masa lalu itu, Mei?”

Meira menggeleng perlahan. Sejujurnya, ia sudah lelah. Lima tahun yang berat telah dijalaninya, tanpa menjadi dirinya yang dulu.

“Kalau begitu, saya akan ajak kamu ke suatu tempat lagi,” ucap Vin seraya berdiri. Meira pun ikut bangkit dari tempat duduknya.

Mereka berdua berjalan. Vin di depan, Meira mengikutinya di belakang. Meira meninggalkan danau biru menyala itu dengan isi kepala yang dipenuhi pertanyaan.

***

Vin dan Meira pun sampai di tempat tujuan. Meira terhenyak. Tempat inilah yang membuat Meira trauma sedalam-dalamnya. Meira terduduk lemas. Ia merutuki dirinya karena lupa memberitahu Vin bahwa air terjun adalah sumber masa lalu buruknya.

“Vin …” Suara Meira tercekat. Rasa sesak di hatinya semakin bertambah. Kenangan itu bermunculan lagi, seolah membawa Meira jatuh ke jurang yang sangat dalam.

“Meira, saya tahu tempat ini adalah penyebabnya,” Vin membuka suara.

“Kalau tahu, kenapa kamu ajak aku ke tempat ini, Vin?” rutuk Meira. Lagi-lagi, ia menangis.

“Karena ini satu-satunya cara, Meira.”

Meira menggeleng. Ia tidak mau melihat air terjun itu. “Aku nggak sanggup, Vin. Ini terlalu berat.”

Vin menghela napas. Gadis cantik di hadapannya itu mendadak ciut. Tapi, Vin mencoba maklum. Ia sadar bahwa ia datang untuk membantu Meira, bukan untuk memarahinya.

Vin pun berjongkok. “Meira, sampai kapan kamu kayak gini terus?” Kemudian, Vin mengalihkan pandangan ke sekelilingnya. “Tempat seindah ini anugerah Tuhan, Meira. Coba kamu perhatikan keindahannya.”

Meira pun mendongak, menatap Vin. Yang ditatap pun tersenyum. “Lihatlah tanpa memutar kenangan itu, Mei?”

Meira menghela napas gusar. Bagaimana pun, ia harus bisa melupakan masa lalunya itu. Meira pun bangkit dari duduknya lalu mulai berjalan menyusuri sekitar air terjun.

“Lihatlah, di sepanjang jalan ini banyak bunga indah yang bermekaran. Harum semerbak bunga itu membuat siapa pun yang berada di sini menjadi tenang. Tidak hanya itu, suara air yang mengalir serta langit yang cerah mampu menjadikan tempat ini sebagai cara melepas penat manusia dari segala masalah yang menimpanya.” Vin kembali menjelaskan.

 Meira tersenyum tipis. Kenangan itu berputar lagi di kepalanya, silih berganti.

                 “Sudah kamu ingat, Meira?” tanya Vin.

Meira mengangguk. Ia lantas mengusap air mata yang jatuh membasahi pipinya. “Ke … kenapa aku baru ingat bagian itu, Vin? Orang tuaku sendiri pernah bilang bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Tapi, kenapa aku baru ingat itu sekarang? Setelah lima tahun lamanya?”

Vin tersenyum. “Sudah kubilang, kamu terlalu fokus dengan kejadian buruk itu. Padahal awal dari memori buruk kamu itu adalah hal baik. Sebelum keluargamu pergi, mama dan papa sudah memberimu pesan yang seharusnya cukup untuk buat kamu bahagia setelah kepergian mereka. Air terjun ini! Air terjun yang indah ini adalah hikmah yang sekarang ada di hidup kamu. Biar saya putar lagi kenangan itu, Mei.”

Memori itu pun berputar lagi. Mencapai puncak dari segala resah yang Meira rasakan selama ini.

Meira membuka matanya. Ia terkejut. Bagaimana tidak? Ia melihat mama, papa, dan kakaknya berada di hadapannya sambil tersenyum. Senyuman yang sangat ia rindukan.

“Apa kabarmu, Nak? Kami rindu,” ucap Papa Heri sendu.

“Mei, maafin kakak karena ninggalin kamu gitu aja. Kakak terlalu frustrasi sampai kakak nggak mikirin kamu. Kakak minta maaf, Mei,” ucap Kevin, kakak yang paling Meira sayangi.

“Nak, kamu harus bahagia. Mama sedih kalau kamu masih terjebak kenangan buruk itu. Mei, ingat apa yang mama bilang waktu itu. Semua takdir yang terjadi adalah takdir terbaik. Ini bukan kehendak kami, Mei. Ini takdir. Tolong ikhlaskan kami! Jalanilah kehidupanmu dengan sebaik mungkin. Kami selalu berharap kamu bahagia walaupun tanpa kami,” tegas Mama Fifi sembari tersenyum.

Meira mengangguk. Ia menangis. Ingin rasanya ia memeluk mereka bertiga. Namun, apa daya, ini hanyalah sebuah khayalan.

“Kami pergi dulu. Bahagia selalu, Meira!” Mereka kompak berucap. Lalu, ketiganya hilang dari pandangan Meira.

Meira kembali terisak. Sepertinya, ia memang harus melupakan kenangan itu. Jika dipikir-pikir, kehidupannya yang sekarang sudah sangat layak. Meira menjadi direktur di perusahaan papanya dulu dan penghasilannya kini semakin meningkat. Semenjak ditinggal sendiri, Meira begitu kesepian dan hampir frustrasi hingga ingin nekat bunuh diri. Akan tetapi, ia berusaha berpikir jernih. Akhirnya, ia bangkit kembali meneruskan perusahaan papanya itu dan dibantu oleh pamannya. Meira menjadi sukses, nahkan terbilang sangat sukses di usianya yang masih muda. Akan tetapi, kenangan itu terkadang masih terputar di kepalanya yang membuat Meira harus berkonsultasi ke seorang psikiater. Itu pun tidak seketika berhasil. Sampai akhirnya datanglah Vin.

“Kamu sudah bisa menerimanya, Meira?” tanya Vin memastikan.

Meira mendongak. Menatap Vin. Kemudian, tersenyum. “Mereka mau aku bahagia, Vin. Jadi, aku akan ngelupain kenangan itu. Aku ikhlas dan akan terus berusaha untuk bahagia.”

Vin tersenyum. “Setelah ini saya berharap kamu selalu bahagia ya, Meira. Kini, waktunya saya pamit.”

Belum sempat Meira mengucapkan terima kasih, Vin sudah menghilang diiringi cahaya terang. Meira pun menyipitkan mata lalu perlahan menutupnya.

“Neng Mei, bangun! Ya ampun, ini udah kesiangan! Mau ada rapat, kan, Neng? Bangun, Neng!”

Suara Bi Asih yang menggema membangunkan Meira dari tidurnya. Apa? Jadi, ini hanya mimpi? Vin?  

“Vin,   mana, Bi?” tanya Meira.

Bi Asih pun kebingungan. “Vin siapa sih, Neng? Udah Neng, sekarang bangun, nanti telat rapatnya.”

Satu menit. Dua menit. Otak Meira masih memikirkan Vin. Siapa Vin itu sebenarnya?

“Neng … Neng Meira!” panggil Bi Asih.

 “Ya Allah! Iya rapat. Makasih ya, Bi. Meira mandi dulu.”

Akhirnya, Meira bergegas menuju kamar mandi. Bi Asih yang menyaksikan tingkah majikannya itu hanya geleng-geleng kepala.

Dalam hati, Meira sangat berterima kasih kepada sosok Vin yang entah mengapa bisa hadir di mimpinya. Semenjak kehadiran Vin, Meira memutuskan untuk melupakan semua kenangan itu. Kini, Meira sudah sangat ikhlas melepas kepergian keluarganya.(*)

 

Kategori :

Terkait

Jumat 09 Aug 2024 - 21:35 WIB

Untaian Asa

Jumat 02 Aug 2024 - 21:40 WIB

One of the Standards of Beauty

Jumat 26 Jul 2024 - 22:34 WIB

Beda yang Sama

Jumat 19 Jul 2024 - 22:15 WIB

Irreplaceable

Jumat 12 Jul 2024 - 22:20 WIB

Manusia Pilihan