Setelah itu, kami pergi ke lapangan dan bertemu teman-teman yang lain. Kami bermain sepak bola bersama sampai pukul 17.30. Saat yang lain pulang, aku dan Bintang duduk di pinggir lapangan yang posisinya langsung menghadap ke arah matahari terbenam. Sore itu mataharinya sangat cantik. Aku melihat pesawat yang melintas. Aku dan Bintang berlari mengikuti arah pesawat itu terbang. Saat pesawat mulai hilang, kami pun tertawa kemudian berbaring di atas rumput lapangan itu. Wajah kedua orang tuaku terbayang saat aku sedang enak berbaring. Aku mengingat betapa susahnya mereka bekerja keras untukku dan kakak-kakakku. Semoga kelak aku menjadi orang sukses agar bisa membanggakan mereka.
Malam harinya hujan turun dengan derasnya. Sebenarnya Bintang mengajakku dan beberapa teman lain pergi ke rumah pohon dekat lapangan sambil bercerita hal-hal yang menyeramkan. Akan tetapi, aku memilih membaca buku di kamar. Hujan mulai reda. Baru saja aku membuka halaman buku selanjutnya, Bintang dan beberapa temanku menyorakiku dari luar rumah. Aku segera turun dari kasur dan berlari ke luar rumah menyambut mereka.
BACA JUGA:Tapis Tenun untuk Bu Lia
Kami pergi ke rumah pohon. Aku tidak terlalu tertarik dengan cerita-cerita seram yang dikisahkan teman-teman. Aku lebih suka turun untuk melihat langit usai hujan. Biasanya saat sedang sedih aku memang suka melihat langit yang baru saja turun hujan ataupun awan mendung, lalu merenung. Tiba-tiba ada yang memegang pundakku. Aku terkejut. Saat aku menoleh, ternyata itu Firman, teman sekelasku juga. Mereka mengajakku pulang karena jam menunjukkan pukul 22.00.
Hari Rabu, tidak seperti biasa, Bintang terlihat tidak ceria. Aku bertanya apakah dia baik-baik saja.
“Tidak apa-apa,” jawab Bintang sambil tersenyum kecil.
Aku bingung. Sesampainya di sekolah, bel berbunyi. Seperti biasa guru yang mengajar pada pelajaran pertama memasuki kelas. Pelajaran dimulai. Aku melirik Bintang yang duduk di sampingku. Ia beberapa kali menarik napas panjang. Aku tidak tahu apa artinya.
Sepulang sekolah
“Loh, mau langsung pulang? Enggak ke warung Mang Opi?” tanyaku saat melihat Bintang jalan begitu saja meninggalkanku di belakang.
“Maaf, untuk hari ini enggak dulu, Lang,” katanya.
Aku hanya mengangguk pelan. Aku bingung. Ada apa sebenarnya dengan Bintang hari ini.
Keesokan paginya
BACA JUGA:One of the Standards of Beauty
Aku bersiap berangkat sekolah. Biasanya setiap berangkat sekolah yang menjemput Bintang, tetapi kali ini dia tidak datang menjemputku. Akhirnya, aku menjemputnya ke rumahnya. Sesampai di rumahnya, aku memanggil-manggil namanya.
“Bintang, Bintang!” teriakku memanggil namanya. Namun, tidak ada jawaban. Tiba-tiba Pak Ucok, tetangga Bintang, keluar.
“Ada apa kau kemari, Langit? Kau panggil nama dia, tak kan keluar anak itu. Bintang dengan keluarganya sudah pindah ke Kalimantan kemarin. Tidak tahu, kau?” ucap Pak Ucok.
Aku yang mendengarnya langsung lemas. Rasanya kaki dan tanganku mati rasa. Bibirku terasa kaku. Semua kata yang ingin aku ucapkan sebelumnya langsung hilang tertelan tenggorokan. Berat rasanya, sakit. Mengapa Bintang tidak memberitahuku? Apa salahnya memberitahuku sebelum dia benar-benar hilang dari hidupku?
Mulai sekarang semuanya kujalani sendirian. Sekarang aku melihat langit tanpanya lagi. Aku benar-benar sendiri. Aku jarang berinteraksi lagi dengan banyak orang di sekitarku. Aku.(*)