“Nanda, maafkan baru terbaca WA Anda. Saya itu tidak pernah menyimpan dokumen perusahaan di rumah saya. Semua saya tinggal di kantor saat itu. Saya sekarang perlu dokumen-dokumen itu. Sudah minta beberapa dokumen perusahaan secara baik-baik tapi tidak diberi, pengacara saya ajukan gugatan untuk mendapat dokumen-dokumen tersebut, karena sebagai salah satu pemegang saham saya punya hak untuk meminta. Begitu kan? Suwun".
Sebenarnya saya tidak memerlukan sama sekali dokumen-dokumen tersebut. Sudah lebih 15 tahun saya meninggalkan Jawa Pos. Selama itu pula tidak pernah merasa memerlukannya.
Saya tidak pernah menyangka 15 tahun kemudian ternyata saya memerlukannya.
Itu karena hari-hari ini saya harus memberikan keterangan di polisi sebagai saksi atas pengaduan direksi Jawa Pos --direksi yang sekarang-- tentang peristiwa 25 tahun yang lalu. Yakni soal siapa sebenarnya pemilik saham Tabloid Nyata.
Saya pun harus menjelaskan ke polisi sepanjang ingatan saya. Ternyata harus ada bukti dalam bentuk dokumen. Maka saya perlukan banyak dokumen.
Sungguh tidak saya sangka persoalan itu diadukan ke polisi. Mengapa Jawa Pos tidak juga mengadukan, misalnya "siapa pemegang saham harian Memorandum". Atau mingguan berbahasa Jawa "Jayabaya".
Maka kejadian hampir 25 tahun lalu harus saya flashback. Siapa sangka itu akan terjadi tahun ini. Hidup ini ternyata banyak juga yang harus dijalani tanpa pernah disangka.
Yang juga tidak pernah saya sangka adalah: saya berurusan dengan polisi di usia saya yang 74 tahun. Dulu, saya kira, saya itu akan seumur hidup di Jawa Pos. Katakanlah sampai mati. Bahkan saya bayangkan mungkin makam saya pun kelak akan di halaman gedung Jawa Pos.
Itu karena, seperti banyak yang bilang, "Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos". Rasanya pernah ada media yang sampai menulis seperti itu.
Seluruh energi muda saya memang tumpah untuk Jawa Pos. Saya sempat bahagia ketika banyak yang mengakui bahwa sayalah yang membuat Jawa Pos dari perusahaan yang begitu kecil dan miskin menjadi raksasa media dengan kekayaan bertriliun-triliun rupiah.
Sebenarnya bukan hanya saya yang bekerja keras untuk membangun Jawa Pos. Tapi juga seluruh karyawan saat itu. Terutama karyawan yang hebat-hebat. Tapi saya memang bekerja rata-rata 16 jam sehari. Selama berpuluh tahun. Sangat sering sampai pukul 02.00. Setelah itu pun sering masih harus keliling ke agen-agen. Mulai urusan manajemen sampai urusan mengedit berita. Mulai dari mengurus agen sampai percetakan. Mulai dari sehat sampai terkena sakit liver ---sampai muntah darah.
Dalam posisi Jawa Pos yang sudah kaya raya itu saya mendapat tugas negara: mengatasi krisis listrik di Indonesia. Sebenarnya saya tidak mau. Tapi ini tugas negara. Saya pun menjadi dirut PLN di tahun 2009.
Sebagai dirut BUMN saya tidak boleh merangkap jabatan di swasta. Maka saya harus melepaskan jabatan dirut Jawa Pos. Tidak masalah. Toh di PLN saya tidak akan lama. Maksimum tiga tahun. Bisa kembali ke Jawa Pos lagi.
Ternyata saya tidak pernah bisa kembali ke Jawa Pos. Pemegang saham mayoritas yang selama puluhan tahun hanya mengawasi dari jauh sudah menjadi sangat berkuasa di Jawa Pos. Begitulah perusahaan. Apalagi sudah punya uang banyak.
Memang saya masih ditawari jadi komisaris, hanya komisaris, bukan Komut, tentu saya tidak mau.
Begitulah. Sejak tahun 2009 itu saya sudah meninggalkan manajemen Jawa Pos. Tapi mayoritas pembaca tidak tahu. Saya masih dikira pimpinan Jawa Pos. Pun sampai kemarin saya di Perth, masih diperkenalkan sebagi bos Jawa Pos.