BANDARLAMPUNG – Rencana Pemkot Bandarlampung membangun kereta gantung mendapat sorotan. Salah satunya oleh Aditya Mahatidanar Hidayat, Ph.D., dosen Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung (UBL) sekaligus Pembina Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Lampung.
Menurut Aditya, kereta gantung lebih cocok untuk kawasan wisata seperti Taman Mini atau kawasan pegunungan. ’’Kalau di kota yang belum punya satu pun koridor bus kota yang layak, langkah ini ibarat membangun balkon di rumah yang belum punya pondasi. Mewah tampak luar, rapuh di dasar,’’ katanya.
Daripada membangun proyek yang menyentuh segelintir wisatawan, kata Aditya, akan jauh lebih bermanfaat bila anggaran dan energi politik difokuskan pada pembangunan sistem transportasi massal yang bisa digunakan semua orang, bukan hanya untuk difoto. ’’Tentu perbaikan jalan dan pengaspalan sangat dibutuhkan. Jalan rusak di banyak titik Kota Bandarlampung sudah lama jadi keluhan warga. Bila perbaikan jalan tidak dibarengi dengan pembenahan sistem transportasi publik, mobilitas kota tetap timpang,’’ ujarnya.
Pembangunan, kata Aditya, tak boleh hanya untuk pengendara mobil dan motor. ’’Harus menjawab kebutuhan warga yang tak punya kendaraan pribadi. Solusinya pengurangan ketergantungan kendaraan pribadi melalui sistem angkutan umum massal yang efisien," jelas Aditya.
Sebagai kota strategis yang menjadi pintu gerbang Pulau Sumatera, kata Aditya, Bandarlampung punya modal sosial dan ekonomi untuk menjadi pelopor transformasi transportasi. ’’Kawasan pendidikan berkembang, pusat bisnis tumbuh, dan urbanisasi terus meningkat. Semua ini adalah peluang,’’ ujarnya.
Peluang itu, kata Aditya, bisa terbuang bila tak disertai keberanian politik untuk merombak sistem mobilitas secara menyeluruh. ’’Kita bisa mulai dari langkah kecil yang konsisten: menghidupkan kembali angkot lewat subsidi dan digitalisasi. Membangun koridor bus dengan halte yang manusiawi, memperbaiki trotoar agar layak dilintasi. Menyediakan jalur sepeda yang aman dan konsisten. Juga mengajak perguruan tinggi, komunitas, dan masyarakat sipil dalam proses perencanaan. Semua itu bukan hal mustahil asal ada kemauan," ungkapnya.
Tak kalah penting, kata Aditya, kita harus melihat transportasi sebagai wajah dari keadilan sosial. ’’Ketika tidak ada transportasi publik, maka yang dirugikan pertama adalah kelompok rentan: lansia, perempuan, pelajar, dan penyandang disabilitas. Mereka kehilangan hak untuk bergerak, kehilangan akses pada peluang,’’ katanya.
Transportasi publik, kata Aditya, bukan sekadar proyek pembangunan. ’’Transportasi publik adalah simbol siapa yang diutamakan dalam kebijakan kota. Kota yang baik adalah kota yang ramah bagi yang paling lemah,’’ ucapnya.