Konflik kali ini mengingatkan kita bahwa konstelasi yang ada di Timur Tengah (Timteng) belum kunjung selesai mengalami ketegangan. Dunia seolah sibuk dengan Ukraina dan Taiwan, tapi lupa bahwa kawasan Teluk tetap menjadi titik paling mudah menyulut perang global.
Tidak hanya karena senjata, tetapi juga karena dampak domino yang ditimbulkan. Pasar minyak global bergejolak. JPMorgan memperingatkan bahwa harga minyak bisa melampaui USD 130 per barel jika konfrontasi tidak diredam.
Lebih jauh, dunia internasional terlihat lumpuh. PBB hanya bisa menyerukan deeskalasi tanpa langkah tegas. G-7 tak bisa satu suara.
Sementara itu, negara-negara Teluk terbelah antara kecaman simbolis dan kepentingan dagang dengan Israel. Bahkan, sebagian memilih diam, menimbang kontrak keamanan yang lebih menguntungkan ketimbang solidaritas kawasan.
Indonesia, bersama 22 negara lain, hanya menandatangani pernyataan bersama mengecam kekerasan. Tapi, apakah itu cukup? Apakah peran Indonesia sebatas ikut menandatangani tanpa inisiatif lain?
INDONESIA, JANGAN DIAM DI TENGAH KEGENTINGAN
Indonesia hari ini punya posisi strategis. Sebagai negara mayoritas muslim terbesar, anggota G-20, dan punya rekam jejak diplomasi bebas-aktif, Indonesia semestinya bisa lebih dari sekadar ikut tanda tangan.
Kita bisa memelopori inisiatif kemanusiaan, mengajak negara global south bersatu menekan penghentian kekerasan. Kita juga bisa mendorong ASEAN untuk bersikap lebih konkret terhadap konflik yang mengancam stabilitas energi dan keamanan internasional itu.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya: Kementerian Luar Negeri seolah menunggu. Kita tak kunjung menggelar konferensi darurat. Kita tak mengusulkan jalur diplomasi damai yang aktif.
Padahal, sejarah telah memberikan contoh: pada masa Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok, Indonesia pernah menjadi pelopor suara moral dunia. Lantas, mengapa hari ini hanya menjadi penonton?
Di tengah gempuran ego negara-negara besar, Indonesia semestinya tampil bukan sebagai penengah normatif, melainkan sebagai inisiator realis – mengajak negosiasi berdasar kepentingan kolektif global south: stabilitas, energi, dan keselamatan warga sipil.
Tunjukkan bahwa pemerintahan di era Presiden Prabowo Subianto menunjukkan iktikad dan inisiatif strategis yang lebih lanjut memberikan dukungan yang positif terhadap situasi dunia yang sedang genting dan tidak baik-baik saja.
DUNIA DI UJUNG TITIK DIDIH
Perlu sama-sama kita sadari bahwa dapat saja fenomena kali ini bukan merupakan akhir, melainkan awal dari rangkaian konflik yang lebih besar.
Jika rudal berikutnya jatuh ke Irak, jika pangkalan AS diserang, jika pasokan minyak dari Selat Hormuz terganggu, yang terjadi bukan hanya perang regional. Namun, krisis global dengan perluasan eskalasi konflik yang besar.
Dan, saat para pemimpin dunia masih berdebat soal siapa yang salah, warga sipil terus menjadi korban. Anak-anak kehilangan sekolah, keluarga kehilangan tempat tinggal, dan dunia kehilangan nuraninya.