Badai Tarif Trump, Strategi Geopolitik atau Gertakan Dagang?

Jumat 11 Apr 2025 - 20:15 WIB
Editor : Yuda Pranata

Kondisi itulah yang melatarbelakangi pemerintah AS untuk mengambil tindakan preventif dengan pemberlakuan tarif resiprokal guna menyeimbangkan kembali neraca perdagangannya.

Menurut sejumlah pakar strategik, kebijakan tarif Trump pada dasarnya merupakan bentuk tekanan geopolitik. Melalui kebijakan ekonomi yang sangat terkesan teknokratis, AS sejatinya tengah melakukan test the water kepada posisi negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan orbit kekuatan lain dan menjadi seteru bebuyutannya, yakni Tiongkok. 

Parameter ekonomi kini bisa dijadikan instrumen penekan, simbol keberpihakan, dan alat dalam perebutan kekuasaan dominasi global. 

Dalam lanskap yang demikian, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka, indikator pertumbuhan, atau sebagai bagian dari sebuah instrumen dinamika pasar, melainkan telah menjelma menjadi bagian integral dari strategi pertahanan nasional sebuah negara. 

Dan, sekarang ini tampaknya Trump sadar betul dan memanfaatkannya sebagai alat penekan kepada negara yang dianggap sebagai biang defisit negaranya. 

Tarif tinggi itu adalah bagian dari strategi decoupling atau de-risking AS dari rongrongan Tiongkok, tetapi dengan efek dominonya merembet ke negara-negara lain yang dianggap terlalu dekat dengan satelit ekonomi Beijing. 

Tak pelak, Indonesia –yang selama ini menjadi tujuan relokasi industri dari Tiongkok– mulai dipersepsikan sebagai bagian dari ”proksi dan rantai pasok Tiongkok”. Akibatnya, Indonesia harus rela ikut terkena imbas dari gebrakan Trump.

URGENSI KEBIJAKAN RESPONSIF 

Indonesia yang menerapkan politik bebas aktif harus mampu mengantisipasi dinamika perang dagang AS-Tiongkok yang makin eskalatif dengan sejumlah kebijakan mitigasi yang bersifat meredam.

Bahkan, kalau bisa, mampu membalik keadaan dari hambatan menjadi peluang. Bebarapa kebijakan urgen yang perlu dieksekusi adalah, pertama, perluasan mitra dagang melalui diversifikasi negara tujuan ekspor. 

Dengan memanfaatkan keanggotaan BRICS, Indonesia memiliki banyak keuntungan karena hasil kesepakatan Deklarasi Kazan memungkinkan sesama anggota kaukus ekonomi, yang dimotori Rusia dan Tiongkok, saling memberikan keringanan tarif bea masuk. 

Kedua, percepatan hilirisasi yang meningkatkan nilai tambah barang tambang dan mineral. Makin tinggi nilai tambah akan meningkatkan penerimaan negara dari ekspor nonmigas.

Ketiga, penguatan konsumsi domestik. Peningkatan konsumsi atau belanja produk buatan dalam negeri merupakan salah satu upaya untuk mendongkrak ekonomi di tengah perlambatan ekonomi global. 

Misalnya, pemerintah perlu merangsang konsumsi publik dengan insentif pajak seperti yang pernah dilakukan, yakni insentif PPnBM atas kendaraan roda empat 0 persen, kemudian subsidi ataupun pembebasan PPN untuk penjualan rumah maupun properti baru. 

Dengan berbagai kebijakan ekonomi responsif dan antisipatif, kita bisa menyambut tantangan badai tarif Trump dengan kesiapan matang melalui sinergi maupun kolaborasi berbagai kekuatan ekonomi domestik. Kita bisa! (*)

 

Tags :
Kategori :

Terkait