Badai Tarif Trump, Strategi Geopolitik atau Gertakan Dagang?

Jumat 11 Apr 2025 - 20:15 WIB
Editor : Yuda Pranata

Defisit barang turun sebesar USD 8,8 miliar menjadi USD 147 miliar dan surplus jasa menyempit sebesar USD 0,8 miliar menjadi USD 24,3 miliar. Ekspor naik 2,9 persen menjadi USD 278,5 miliar, terutama karena emas nonmoneter, mobil penumpang, aksesori komputer, truk, bus, dan pesawat sipil.

Di sisi lain, penjualan turun untuk minyak bakar, transportasi, dan barang serta jasa pemerintah. Sementara itu, impor hampir tidak berubah mendekati tingkat rekor di USD 401,1 miliar, setelah melonjak bulan lalu didorong oleh antisipasi tarif yang akan datang.

Impor turun untuk bentuk logam jadi, emas nonmoneter, dan pesawat sipil, mengimbangi pembelian yang lebih tinggi untuk ponsel dan barang rumah tangga lainnya, persiapan farmasi, dan komputer. 

Kesenjangan perdagangan AS menyempit dengan Tiongkok, Swiss, dan Kanada, tetapi meningkat dengan Uni Eropa, Meksiko, dan Vietnam.

Tak menunggu lama, pascarapat kabinet, Trump segera meneken executive order untuk memberlakukan tarif dalam dua tingkat utama, yakni tarif umum sebesar 10 persen untuk semua barang impor dari seluruh dunia, berlaku mulai 5 April. 

Tarif khusus untuk negara dengan defisit perdagangan tinggi terhadap AS, efektif pada 9 April. Negara-negara yang terkena dampak tarif timbal balik, antara lain, Uni Eropa sebesar 20 persen, Tiongkok 34 persen, Vietnam 46 persen, Thailand 36 persen. 

Akan tetapi, untuk Meksiko dan Kanada dikecualikan dari tarif itu, tetapi tetap harus mematuhi kebijakan perdagangan yang lebih ketat terkait dengan keamanan perbatasan yang tiap tahun selalu menjadi isu nasional.

Di balik kebijakan tarif perdagangan yang memantik kontroversi tersebut, muncul sebuah pertanyaan besar. Bagaimana mungkin AS, negara adidaya ekonomi, bisa sampai mengalami defisit anggaran yang begitu besar?

MENGEMBALIKAN HEGEMONI EKONOMI 

Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 karena badai gerakan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (pembaruan) yang diperkenalkan Michael Gorbachev makin mengokohkan posisi AS sebagai satu-satunya negara adidaya hingga saat ini.

Meski begitu, dalam satu dekade belakangan ini Tiongkok muncul menggeliat sebagai kekuatan baru sebagai raksasa ekonomi yang dianggap ”mengusik” keberadaan AS selama ini. 

Berdasar data IMF, negara dengan perekonomian terkuat pada 2024 dipegang AS dengan besaran produk domestik bruto (PDB) mencapai USD 28,78 triliun. Itu meningkat 2,7 persen jika dibandingkan dengan 2023. 

Capaian tersebut meneguhkan posisi Negeri Paman Sam sebagai negara dengan perekonomian terkuat sejak 1960. Meski AS dianggap mendominasi perekonomian global selama beberapa dekade, terdapat beberapa tantangan ekonomi yang mengakibatkan negara raksasa ekonomi sekelas AS mengalami defisit. 

Di antaranya, biaya kesehatan yang makin membengkak dan belanja alat pertahanan nasional yang tiap tahun selalu meningkat, itu belum termasuk sejumlah paket bantuan militer bagi sejumlah negara satelitnya. 

Kemudian, pengeluaran bunga utang menjadi salah satu penyebab defisit anggaran. Di samping itu, sejumlah faktor lain yang turut berkontribusi terjadinya defisit ialah ketergantungan warga AS terhadap produk impor dari negara lain. 

Misalnya, produk elektronik dan farmasi dari Tiongkok. Ada pula masalah sosial seperti ketimpangan ekonomi dan kemiskinan yang kian meningkat. 

Tags :
Kategori :

Terkait