JAKARTA – Menjelang hari raya Idul Fitri 2025, sejumlah pengusaha kembali diresahkan dengan oknum-oknum dari organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sering mendatangi tempat usaha untuk meminta tunjangan hari raya (THR) dengan cara memaksa.
Achmad Nur Hidayat, ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, menyebut bahwa praktik pemerasan THR oleh ormas bukan lagi persoalan sepele, melainkan masalah yang serius.
“Ini adalah cermin dari lemahnya penegakan hukum dan ancaman serius terhadap masa depan perekonomian. Pemerintah tidak bisa lagi berpangku tangan,” jelas Achmad saat dihubungi Disway pada Sabtu, 22 Maret 2025.
Achmad mengungkapkan bahwa situasi ini menempatkan pengusaha dalam dilema besar, di mana mereka terjepit antara mematuhi hukum dengan menolak memberi THR atau melanggengkan praktik ilegal demi kelancaran bisnis mereka.
Dia menambahkan bahwa ketidakpastian ini berkontribusi terhadap buruknya indeks kemudahan berusaha Indonesia, yang pada 2023 tercatat di peringkat 72 dari 190 negara menurut Bank Dunia.
“Jika pemerintah tidak segera turun tangan, situasi ini bisa menjadi bom waktu yang menghambat pertumbuhan ekonomi,” pungkas Achmad.
Untuk mengatasi masalah ini, Achmad menegaskan perlunya tindakan penegakan hukum yang tegas terhadap Ormas yang terlibat dalam praktik pemerasan. Aparat keamanan diharapkan untuk proaktif dalam mengusut laporan pengusaha dan menindak pelaku tanpa pandang bulu.
“Selama ini, banyak oknum Ormas merasa kebal hukum karena kurangnya tindakan represif,” ujarnya.
Selain penegakan hukum, Achmad juga mengusulkan perlunya pembinaan terhadap Ormas. Banyak Ormas yang sebenarnya memiliki potensi positif, seperti membantu pemberdayaan masyarakat, namun cara mereka mencari dana seringkali salah kaprah. Pemerintah bisa mendorong transformasi Ormas menjadi mitra pembangunan melalui pelatihan kewirausahaan atau program kemitraan dengan pelaku usaha.
“Dengan demikian, Ormas tidak lagi bergantung pada pemerasan THR, tetapi memiliki sumber pendapatan yang legal dan berkelanjutan,” ucap Achmad.
Achmad juga menekankan pentingnya membangun dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan Ormas. Dalam hal ini, Ormas perlu dipahamkan bahwa praktik pemerasan hanya merusak citra mereka dan menghambat pembangunan ekonomi. Sementara itu, pengusaha dapat diajak untuk berkontribusi dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) yang transparan dan terarah, alih-alih menuruti tekanan ilegal.
“Penyelesaian yang komprehensif akan membuka ruang bagi kolaborasi yang lebih sehat antara ormas, pengusaha, dan pemerintah,” pungkas Achmad. (disway/c1/abd)
Kategori :