PT KAI, imbuhnya, telah melakukan berbagai upaya pendekatan dan prosedural sebelum melakukan penertiban. Pada 2019, PT KAI telah melakukan sosialisasi kepada penghuni aset perusahaan yang berada di Jalan Rambutan tersebut. Lalu memberikan surat peringatan (SP) hingga tiga kali pada Maret 2020 sampai Februari 2022.
Karena kondisi saat itu masih dalam masa Covid-19, menurutnya keamanan wilayah belum mengizinkan untuk dilakukan penertiban. ’’Pada Juli, September, dan November 2023, kami (PT KAI) kembali mengirimkan surat peringatan. Tetapi sampai saat ini tidak ada iktikad baik dari penghuni rumah untuk mengosongkan lahan tersebut meskipun keputusan PTUN membatalkan sertifikat yang dimiliki penghuni aset PT KAI tersebut, yang artinya jelas aset merupakan milik KAI,” ujar Zaki.
Namun demikian, tandasnya, PT KAI melakukan penertiban sesuai prosedur yang berlaku mengedepankan pendekatan humanis serta didampingi aparat kewilayahan, TNI, dan Polri. Divre IV Tanjungkarang juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh aparat kewilayahan yang mendukung upaya penertiban tersebut.
’’PT KAI Divre IV Tanjungkarang sampai saat ini terus melakukan berbagai upaya pengamanan aset perusahaan dari pihak-pihak yang ingin melakukan perampasan. Hal ini merupakan wujud komitmen KAI menjaga aset negara yang seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan bangsa serta memberikan kontribusi untuk Indonesia,” tutup Zaki.
Selasa (28/11) itu juga, pihak keluarga yang digusur didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung melaporkan PT KAI Divre IV Tanjungkarang ke Polresta Bandarlampung. Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jawardi menyampaikan objek bangun adalah lahan milik keluarga sejak tahun 1968.
Bahkan secara fakta, pihak PLN juga pernah membeli lahan dengan pihak keluarga sejak 1973. ’’Nah, ke mana pihak PT KAI terhadap objek ini yang diklaim milik mereka," ucapnya.
Maka dari itu, pihaknya mendampingi keluarga mengajukan laporan ke Polresta Bandarlampung dan mengadukan ini ke DPRD Lampung. ’’Kita sudah melihat beberapa dokumen, termasuk pelepasan hal pemberian hak dan ada sertifikat yang diterbitkan oleh negara tahun 1968. Kemudian dari proses itu sama dengan hari ini (kemarin), keluarga secara patut menguasai objek dan membayar pajak," pungkasnya. (gie/c1/rim)