Ishartini mengatakan, pasar Uni Eropa salah satu pasar yang menjanjikan. Terlebih, sejumlah komoditas ikan yang biasa diimpor Uni Eropa memang dimiliki oleh Indonesia.
"Jadi memang pasar Uni Eropa adalah merupakan salah satu pasar yang sangat menjanjikan untuk perikanan. Oleh karena itu, kita perlu menggarap pasar Uni Eropa. Tentu ini yang harus kita genjot," kata Ishartini dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (24/10).
Dia mengungkapkan, hingga kini Indonesia masih berada di peringkat ke-20 sebagai supplier ekspor komoditas ikan. Bahkan, pangsa pasarnya masih kecil sebesar 1 persen.
Adapun pemasok utama ikan ke Uni Eropa saat ini masih dipegang oleh Norwegia. Tak hanya itu, pemasok lainnya berasal dari Tiongkok, Morocco, Ekuador, dan Great Britain.
"Pemasok utamanya adalah Norwegia dengan pangsa 33,1 persen, sedangkan Indonesia berada di peringkat ke-20 dengan pangsa 1 persen," jelasnya.
Ishartini menyampaikan alasan RI membidik pasar Uni Eropa. Salah satunya, karena nilai impor Uni Eropa yang masih terus positif sebesar 3,6 persen per tahun dalam kurun 5 tahun terakhir.
Dilihat dari nilainya, impor Uni Eropa untuk produk perikanan pada tahun 2023 bahan mencapai USD36,15 miliar. Angka ini tercatat turun 2 persen dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.
"Pada 2022 nilai impornya USD36,68 miliar, pada 2023 USD36,15 miliar, mereka pun turun 2 persen dari tahun yang lalu. Tapi kalau pertumbuhan 5 tahun, mereka masih positig," bebernya.
Adapun produk ikan yang biasa diimpor oleh Uni Eropa, terdiri dari ikan trout dan salmon, udang, cumi-sotong gurita, tuna-cakalang, cod, alaska pollack, serta lemak dan minyak ikan.
Dia menilai, untuk jenis udang, cumi-sotong-gurita, dan tuna-cakalang merupakan komoditas yang dibidik Indonesia agar bisa diekspor ke Uni Eropa. "Kita punya, sehingga tiga komoditas ini yang harus kita tingkatkan volume dan nilainya untuk masuk ke Uni Eropa," ungkapnya. (jpc)