Embun pagi Cerpen karya Triara Rustia

-foto pixabay-

Aku remaja berusia 17 tahun yang sering disapa Maira Andini. Aku adalah anak tunggal dari ayah dan ibuku. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di rumah yang sederhana yang di dalamnya tersimpan banyak kenangan. Ayahku adalah seorang kuli bangunan, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga.

Setiap pagi ayah selalu bekerja tak mengenal cuaca, terkadang hujan dan terkadang amat sangat panas. Begitulah pekerjaannya, tapi beliau tak pernah mengeluh sedikitpun. Walaupun begitu, aku bisa merasakan betapa lelah tubuh ayahku itu, berbaring di ranjang kayu sederhana, tidur dengan begitu pulas dan wajahnya yang begitu lelah.

Aku bangga dengan pekerjaan ayahku itu. Bagiku, ayahku bukan seorang tukang bangunan. Ayahku adalah seniman yang mengubah sesuatu berupa material belum jadi, menjadi sebuah karya seni bagunan yang indah yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh penghuninya. Untuk membuat suatu karya seni bangunan itu, yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh penghuninya, ada proses yang panjang yang begitu melelahkan dan begitu menguras tenaga, tapi ayahku tak pernah mengeluh sedikitpun. Aku belajar dari sosok ayahku yang pekerja keras dan pantang menyerah. 

Aku sadar, aku adalah anak tunggal ayah dan ibu. Aku menjadi harapan satu-satunya mereka. Diriku sebagai anak satu-satunya dari ayah dan ibu. Mereka menaruh harapan yang sangat besar kepada diriku. Harapan mereka kujadikan motivasi dalam hidupku untuk mewujudkan sesuatu yang mereka harapkan. Harapan mereka untuk diriku adalah menjadi wanita yang soleha, mempunyai akhlak yang baik dan bermanfaat bagi setiap orang serta mereka menginginkanku menjadi seorang dokter yang bisa membantu orang yang sedang sakit dengan sabar dan ikhlas.

 

Sebagian orang  di sekitar rumahku  berpendapat bahwa impian ayah dan ibu kepadaku sangatlah besar. 

“Orang anak tukang bangunan aja gaya-gayaan mau jadi dokter,” itulah ucapan yang keluar dari mulut tetangga sekitar.

Mungkin untuk diriku, itu memang hal yang mustahil, tapi tidak ada yang tidak mungkin.

“Apakah aku bisa dan mampu menjadi seorang dokter?” aku bertanya kepada diriku sendiri. 

Semua orang tahu bahwa untuk menjadi seorang dokter perlu biaya yang cukup besar. Itulah yang muncul dalam pikiranku. Apa aku bisa dan mampu untuk mewujudkannya? Aku merasa mustahil bagiku untuk menjadi seorang dokter dengan biaya pendidikan yang mahal, sedangkan ayahku hanyalah seorang tukang bangunan dan ibuku hanya ibu rumah tangga. Aku sadar akan hal itu. Aku tak ingin membebani kedua orang tuaku. Tapi aku fikir tak ada yang tak mungkin. 

“Jikalau Tuhan berkehendak maka impian dan harapan itu kan menjadi sebuah kenyataan” ujarku dalam hati sambil meyakinkan diriku sendiri.

Yang harus ku lakukan saat ini adalah berusaha, berdoa dan yakin kepada Tuhan. Tuhan akan memberikan sesuatu yang baik untuk niat yang baik pula.

Untuk mengejar impian itu aku tak hanya duduk terdiam. Setiap harinya aku belajar dan berusaha untuk memberikan yang terbaik, tetapi namanya manusia tak ada yang sempurna. Terkadang diri ini merasa lelah, tapi aku berfikir lebih lelah mana ayah dan diriku. Sebenarnya lebih lelah ayahku, tapi beliau tak pernah mengeluh. Aku baru begitu sudah mengeluh. Kuhilangkan keluh kesah dengan sabar dan tawakal.

Usahaku itu membuahkan hasil. Saat kelulusan tiba aku menjadi salah satu siswi yang mendapat nilai terbaik. Aku senang dan bangga. Begitu pun dengan kedua orang tuaku. Aku Amencoba untuk mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswi. Aku sangat berharap aku bisa lulus, tapi harapanku sirna. Ternyata aku gagal.

Tag
Share