Soal Tunggakan Pajak Progresif, DPRD Bandarlampung Bersuara

BANDARLAMPUNG - DPRD Bandarlampung akhirnya bersuara. Itu setelah selama ini bungkam terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas tunggakan pajak progresifnya senilai Rp1,8 miliar.

          Melalui Badan Kehormatan (BK) DPRD setempat, mereka tidak membantah adanya temuan tersebut. Seperti diutarakan Wakil Ketua BK DPRD Bandarlampung Wiwik Anggraeni.

Ia menyebut dewan telah mencicil tunggakan pajak progresif tersebut pasca mendapatkan rekomendasi BPK RI. ’’Itu sudah pada dibayar. Kan memang kewajiban," katanya, Senin (23/10).

          Menurut Wiwik, anggota yang membayar tidak semuanya mencicil. Ada juga beberapa yang membayarnya lunas.

          Sayangnya, meski telah mengklaim membayar tunggakan tersebut, Wiwik tidak menyebutkan rinci berapa nominal yang sudan dibayarkan, baik itu yang lunas maupun mencicil. ’’Ya mungkin ada yang mencicil, ada yang lunas juga, tetapi sudah pada bayar," jelasnya.

          Wiwik menyebut BK DPRD Bandarlampung tidak merekomendasikan apa pun terkait temuan ini karena telah ada upaya pencicilan. ’’Enggak ada. Karena kalau sudah dicicil itu keluar SPI-nya bahwa sudah lunas dan langsung ke Pajak Pratama. Jadi melalui bendahara," terangnya.

          Sementara terkait bimtek dan lainnya yang juga jadi temuan BPK, Wiwik menandaskan hal itu juga telah diselesaikan beberapa waktu lalu. ’’Mereka sudah melunasinya. Karena kan kemarin itu ada pansus soal LHP itu dan mereka sudah lunasi, juga melakukan hearing dengan OPD terkait soal itu," pungkasnya.

Sebelumnya, pengamat hukum pidana dari Universitas Lampung (Unila) Dr. Reynaldi mendorong Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung agar memeriksa hasil temuan BPK RI di DPRD Bandarlampung yang pajak penghasilan (PPh)-nya menunggak Rp1,8 miliar serta adanya honorarium tidak semestinya. Menurutnya hal ini penting dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh adanya dugaan pelanggaran di sekretariat DPRD setempat.

’’Itu harusnya dari temuan BPK ditelusuri dahulu, apakah kemudian rekomendasi yang dihasilkan sudah diajukan ke penegak hukum agar diklarifikasi? Apakah memang hanya pelanggaran yang sifatnya administratif. Atau, di situ ada unsur kesengajaan dan merugikan keuangan negara? Dan bagaimana tidak lanjutnya yang harus dinilai dari sudut pandang penegak hukum, dalam hal ini jaksa," tegas Reynaldi kepada Radar Lampung, Selasa (10/10).

          Selain itu, proses pengujian oleh aparat penegak hukum (APH) sangat diperlukan untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. ’’BPK RI dalam mengaudit itu pasti punya panduan, apakah itu pajak PPh atau progresif. Meskipun BPK belum pasti benar, pengujian terhadap kebenaran itu ya hasil rekomendasinya seperti apa? Kemudian bila memang ada penyalahgunaan wewenang atau ternyata itu sudah benar tetapi ada kesengajaan, nah di situlah fungsi aparat penegak hukum untuk mengklarifikasinya. Karena bisa jadi BPK benar, tetapi ternyata perspektifnya yang salah atau hanya kesalahan administratif, belum tentu tindak pidana di situ. APH wajib memberikan kesimpulan di situ," jelasnya.

          Dia juga mengingatkan pada permasalahan ini jangan sampai penyelesaiannya berhenti di BPK dan DPRD. Ini demi kepercayaan masyarakat sendiri kepada pejabat pemerintahan.

          ’’Kalau sudah ada pihak ketiga, apalagi APH yang punya kewenangan, maka di situ bisa diketahui informasi yang sesungguhya dan harus ditunjukkan secara terbuka dalam rangka akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat," ucapnya.

          Dia juga menyarankan pemeriksaan awal bisa dilakukan pada bendahara dan sekretaris DPRD yang bersangkutan. ’’Tetapi menurut saya, karena yang mengelola pembayaran pajak itu bisa jadi bukan dewan, maka mereka pun perlu melakukan penelusuran kepada bendahara di sekretariat dewan terkait hal tersebut," pungkasnya.

          Sebelumnya juga, Sekretaris DPRD (Sekwan)  Bandarlampung Tri Paryono saat ditemui di pelataran Asrama Haji Rajabasa, Senin (9/10), menolak diwawancarai seputar hal tersebut. "Jangan Mbak, jangan. Maaf belum ya, Mbak," katanya sambil memberi isyarat penolakan dengan tangannya.

          Sedangkan, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Bandarlampung M. Ramdan mengatakan terkait temuan BPK adanya tunggakan PPh anggota DPRD senilai Rp1,2 miliar seharusnya saat ini sudah dibayarkan. Demikian juga dengan temuan adanya honoraium yang tidak semestinya. ’’Harusnya sih sudah (dibayarkan, Red) ya. Karena kan batasnya 60 hari sejak rekomendasi itu keluar,” tandasnya, Senin (9/10).

          Namun, dia tidak tahu apakah temuan BPK RI itu sudah ditindaklanjuti dewan setempat dengan membayar tunggakan PPh tersebut atau belum. Demikian juga dengan honorarium yang tidak semestinya, apakah sudah dikembalikan ke kas negara atau belum. ’’Tetapi coba saja tanya sama Sekwan. Kalau dari peraturannya, seharusnya sudah ditindaklanjuti," ujarnya.

Diketahui terkait adanya dua temuan dari BPK RI serta adanya anggaran bimtek yang jumlahnya fantastis, DPRD Bandarlampung masih tertutup dan menghindar dari upaya konfirmasi media massa. Terutama pimpinan dan sekretaris dewannya, para stafnya kompak mengatakan yang bersangkutan tidak ada karena sedang dinas luar.

          Seperti Jumat (6/10), untuk kali kesekiannya, wartawan koran ini kembali menyambangi kantor DPRD. Lagi-lagi, Ketua DPRD Bandarlampung Wiyadi tak ada di ruangannya. Bila sebelumnya staf wanitanya, kini salah satu staf prianya berbaju hijau dan berperawakan tinggi tegap yang menyebut pimpinannya tidak ada. ’’Enggak ada dan enggak tahu kapan kembalinya," ketus dia.

          Parahnya ketika coba kembali menemui Sekretaris Dewan Tri Paryono, ruangannya malah kosong. Tidak ada satu pun stafnya yang bisa ditanyai.

Begitu pula dengan ponselnya yang beberapa kali dihubungi sejak siang hingga sore, baik Wiyadi maupun Tri tidak menjawab telepon wartawan koran ini meski dalam keadaan aktif.

Sementara Kabag Keuangan-nya, Etty Rohayani, menurut stafnya keluar sekitar pukul 10.30 WIB berpamitan untuk melayat. Namun ditunggu hingga pukul 15.00, yang bersangkutan tak kunjung kembali ke kantornya. Ponselnya juga aktif, tetapi tidak menjawab panggilan wartawan koran ini.

Temuan BPK RI di DPRD Bandarlampung juga ternyata bukan hanya terkait tunggakan pajak penghasilan 50 anggotanya. Melainkan terdapat juga honorarium di DPRD setempat yang tidak semestinya, yaitu sebesar Rp130.050.000.

          Itu setelah Sekretariat DPRD Bandarlampung sendiri menganggarkan belanja honorarium narasumber atau pembahas, moderator, pembawa acara,  dan panitia sebesar Rp1.690.875.000 dengan realisasi Rp1.423.950.000 atau 84,21%. Belanja honorarium narasumber tersebut di antaranya merupakan realisasi kegiatan uji publik rancangan peraturan daerah (raperda) dan konsultasi publik program pembentukan peraturan daerah (propemperda).

           Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pertanggungjawaban pada dua kegiatan tersebut, anggota DPRD diberikan honorarium narasumber masing-masing kegiatan sebesar Rp425.000 per orang per jam setelah dipotong pajak dengan jumlah jam masing masing selama tiga jam pembahasan. Di mana pada dua kegiatan itu juga melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder terkait lainnya.

Terkait hal ini, BPK berpendapat tidak seharusnya diberikan honorarium karena merupakan fungsi DPRD. Di mana dalam melaksanakan fungsi tersebut kepada DPRD telah diberikan hak keuangan. Selain itu, PPTK juga menerangkan anggota DPRD seharusnya menjadi narasumber penyanggah, bukan menjadi narasumber pemateri.

Meski temuan BPK ini jumlahnya tidak besar seperti tunggakan pajak penghasilan 50 anggota termasuk Ketua DPRD Bandarlampung, pihak BPK tetap memberikan rekomendasi kepada Wali Kota Bandarlampung. Di antaranya untuk memerintahkan Sekretaris DPRD menginstruksikan PPTK, PPK-SKPD, dan bendahara pengeluaran memedomani ketentuan berlaku dalam memberikan honorarium narasumber serta menyetorkannya ke kas daerah dengan nominal tertera di atas.  (mel/c1/rim)

Tag
Share