Losmen Eyang Putri
-ILUSTRASI FREEPIK-
Malam itulebih pekat dari malam-malam sebelumnya. Hujan datang mengetuk jendela, meninggalkan bercak-bercak air di setiap sudutnya. Tepat pada malam itu perayaan ulang tahun Losmen. Kami sudah mempersiapkan hidangan terbaik sambi menunggu tamu-tamu undangan yang sesaat lagi kuyakin akan datang.
Mereka sudah menunggu di muka pintu, jemarinya enggan mengetuk, kepalanya tertunduk. Empat anak jalanan dengan tubuh kurus itu basah kuyup diterkam rintik hujan. Ya, mereka memang tamu undangan pada malam itu. Anak-anak jalanan yang kerap datang ke Losmen setiap senja untuk mendengar dongeng yang diceritakan Eyang Putri.
“Selamat dat... Oh, Hei! Kalian basah kuyup.” Aku cukup panik melihat baju yang dikenakan empat anak itu telah basah diterkam rintik hujan. Mereka salingbertatapan danbertukar senyum. Salah seorang dari mereka menghampiriku sembari menyerahkan kantung plastik berwarna putih, “Selamat ulang tahun, Kak Mara!.”Ulang tahun Losmen ini memang bertetapan dengan hari ulang tahunku, tetapi sama sekali tidakpernah kusangka mereka tahu hari kelahiranku. “Bagaimana kalian tahu?.” senyumku merekah menerima kantung plastik putih itu.
Sudah pasti Eyang Putri yang mendongengi hari kelahiranku kepada anak-anak jalanan itu. Eyang Putri selalu berhasil membuat setiap orang takjub dengan seribu satucaranya memanusiakan manusia. Ia lalu membawa anak-anak itu masuk dan memberikan kaos oblong,pakaian gantiuntuk anak-anak jalanan itu.Tak berselang lama, tamu undangan Eyang Putri lainnya berdatangan. Kang Udin, pengambil sampah, Kang Budi, pengantar surat kabar, Mbok Ning, penjual kue tampah, dan beberapa tamuundangan lainnya yang tidak kukenal. Tidak lebih dari sepuluh orang yang datang.
Malam itu sungguh bukan malam biasa. Hujan yang berdenyut dari luar jendela hampir tak terdengar, tergantikan oleh suara gelak tawa yang menggelitik. Kami benar-benar telah larut dalam kegembiraan di malam itu.Di sela perbincangan Eyang Putri menatapku lamat-lamat, “Kelak akan datang suatu masa, kau akan mengerti bahwa kebaikan yang kau taburdi masa kini akan menyelamatkan dirimu di masa yang akan datang.”
Seketika lamunanku buyar diguyur hujan yang merekah pada senja yang lebam.Aku melangkahkan kaki menuju Halte Bus yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Losmen.Tidak peduli seberapa banyak kakiku menapak dalam genangan air.Aku duduk termangu di Halte Bus. Sesekali menonton film bisu dari kaca jendela yang buram, menerka-nerka siapa pemeran di balik film bisu yang tak terlihat jelas di kedua bola mataku. Lalu aku kembali termangu, kali ini menatap rintik-rintik hujan, berharap tetesannya dapat membunuh sunyi.
Pameran Seni dekat Stasiun kali ini menjadi tempat pelarianku. Aku mulai mencari-cari dimana tempat yang dipilih teman-temanku untuk berteduh dari hujan yang mulai mereda ini. Kurasa aku tak akan menemukan mereka di sepanjang jalanan ini, karena kusadari ponselku kini bergetar menampilkan notifikasi yang tak pernah kuharapkan.Mereka tidak akan datang. Seolah-olah membatalkan tinta perjanjian yang sudah kami tuang beberapa minggu yang lalu.
Langkahku terhenti di depan etalase toko dekat Pameran Seni. Kutatap lamat-lamat empat anak jalanan dari kejauhan, mereka menenteng alat musik sederhana dalam genggamannya. Peluhnya mengucur di pelipis matanya bercampur dengan tetesan hujan. Salah seorang dari mereka mulai bernyanyi dengan suara yang bergetar hebat, sepertinya pilu berhasil mencekik tenggorokannya.Seseorang menghampiriku, menyodorkan plastik yang berisi beberapa keping uang recehan. Segera kurogoh kantung celanaku, kutemukan uang sepuluh ribu rupiah terlipat tak beraturan. Kumasukkan uang sepuluh ribu rupiah ke kantung plastik milik seorang lelaki itu.
“Kak Mara?” Seorang lelaki itu menyebut namaku. Aku mengerjapkan kedua mataku, berusaha mengenali sosok yang menyebut namaku. “Hei... Kau!” bola mataku menyorot anak jalanan itu. Anak-anak jalanan lainnya berdatangan menghampiriku seolah sangat mengenaliku. “Kalian! Sudah lama sekali.”
Aku memeluk tubuh mereka satu per satu, tak peduli seberapa basahnya baju mereka yang telah naas diterkam rintik hujan. “Mengapa kalian tidak pernah datang ke Losmen lagi?” tanyaku. “Kami sungkan Kak Mara.” “Eyang Putri pasti sangat bahagia di sana bila menyaksikan kalian berkunjung lagi ke Losmen.” Ucapku lirih.Wajah mereka tertunduk lesu, gelagatnya menampakkan kerinduan, sesekali wajahnya terangkat dan terlihatlah binar di matanya yang memancarkan keinginan untuk datang kembali ke Losmen Eyang Putri dan untuk menghadirkan suasana sehangat dulu lagi. Kami berjalan bersama-sama menuju Losmen Eyang Putri.
Kami telah tiba di muka pintu Losmen.Jemariku mulai mengetuk, menunggu sosok di balik pintu datang membukakan pintu untuk kami.Pintu terbuka, menampilkan sorot cahaya dari balik ruangan. Terlihat sosok wanita paruh baya di balik pintu membukakan pintu untuk kami.Bibi Ann, sosok wanita paruh baya yang setia mengurus Losmen Eyang Putri. Ia menyambut kami dengan hangat, “Asmara? Kukira kau akan pulang larut malam.” Ujar Bibi Aan. “Temanku mengingkari janjinya untuk menonton pertunjukan seni, jadi lebih baik aku kembali ke Losmen.” Aku menimpali.
Bibi Ann mengalihkan pandangannya ke arah empat anak berbaju lusuh yang basah diguyur hujan, “Astaga,kalian? Sudah lama sekali kalian tidak berkunjung ke Losmen ini.” Bibi Ann seakan melepas rindunya yang sudah lama membendung.“Aduh, kalian basah kuyup. Mari masuk.” lanjut Bibi Ann mempersilahkan kami masuk. Pakaianku yang tadi basah kuyup kini telah berganti menjadi pakaian yang cukup hangat untuk dikenakan malam ini. Suaraku memanggil-manggil empat anak yang tadi kutuntun untuk datang kemari. Rupanya mereka sedang duduk-duduk di Selasar Losmen.
Kulihat pula Ibu Hilda sedang berbincang dengan anak jalanan itu, seakan sedang melepaskan rindu. Ibu Hilda sudah datang sejak siang menjelang petang tadi. Ia pasti banyak menghabiskan waktu bersama Bibi Aan di dapur.Ibu Hilda dan anak jalanan itu tidak akan saling melupakan karena mereka seringkali berjumpa dalam kelas melukis di suatu petang saat Eyang Putri masih mewarnai setiap sudut Losmen ini.
Kuperhatikan gelagat mereka dari kejauhan, semakin serius pembicaraan.Kupaksakan langkahku perlahan mendekati mereka. Ibu Hilda dan anak jalanan itu menyambut langkahku yang menghampiri mereka.”Kok ngobrolnya di sini? Ayo masuk.” Seketika aku memecahkan pembicaraan mereka. Tak banyak basa basi, kami langsung melangkah masuk ke sebuah ruanganLosmen. Kami mulai mengambil posisi duduk di sebuah ruangan itu. Bibi Aan menghampiri kami dengan membawa nampan berisi teh hangat untuk suguhan di atas meja oval memanjang.
“Losmen ini semakin sepi pengunjung sejak kepergian Eyang Putri.” Bibi Aan memulai percakapan. “Bu Aan, kami turut prihatin. Sekiranya ada yang bisa kami bantu, pasti dengan senang hati akan kami bantu untuk membuat Losmen ini ramai pengunjung kembali.” Ibu Hilda menyambut percakapan. “Ini salahku.” Aku menimpali. “Aku dan Laskar memang pemalas.” Aku menambahkan. “Cah Ayu, sudahlah, daripada terus menyesali diri lebih baik kita bahu membahu. Eyangmu banyak berjasa kepadaku. Aku tidak akan melupakan kebaikan-kebaikan Eyangmu.” Ibu Hilda berkisah. Konon Ibu Hilda pernah ditolong oleh Eyang Putri. Kala itu Ibu Hilda tertimpa musibah, rumahnya habis dilalap api. Ia, suami, dan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil diberikan tempat untuk berteduh selama beberapa bulan. Perlahan Ia dan suaminya membangun rumah kecil di sekitar Losmen Eyang Putri. Waktu semakin berjalan, anak-anak Ibu Hilda kini telah dewasa dan semuanya bekerja di luar kota. Itulah awal mula Ibu Hilda menjadi kawan erat Eyang Putri.