Pemakzulan Bergantung Hak Angket Parlemen
JAKARTA - Dunia politik Tanah Air masih kisruh setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pemilu yang memicu polemik.
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap MK. Selain itu, ada masukan dari masyarakat terhadap PKB untuk memakzulkan presiden yang dianggap akan membangun dinasti politik.
Menanggapi itu, pengamat politik dari Formappi, Lucius Karus, menilai DPR harus memastikan dahulu hak angket bisa berjalan mulus di parlemen, baru bisa bicara soal pemakzulan.
Lucius kemudian menjelaskan mekanisme pemakzulan lewat hak angket.
“Secara garis besar pemakzulan dimaknai sebagai proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai pemimpin,” ujarnya.
Sementara, pemakzulan presiden secara tegas telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam aturan itu dijelaskan presiden dan wakil presiden bisa diberhentikan jabatannya oleh MPR dan DPR dengan mekanisme tertentu.
Pemakzulan bisa dilaksanakan apabila presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Adapun Pasal 7A dan 7B UUD 1945, secara lengkap berbunyi: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebabnya adalah MK mengeluarkan putusan syarat batas usia capres-cawapres yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.
“Mengajukan hak angket terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi. Kita tegak lurus terhadap konstitusi kita,” tegas Masinton dalam rapat paripurna DPR, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Masinton mengajak anggota DPR untuk membuka mata terhadap putusan MK yang dinilai janggal. Putusan itu hanya demi pragmatisme politik semata.
“Ini kita berada dalam situasi yang ancaman terhadap konstitusi kita, Reformasi 98 jelas memandatkan bagaimana konstitusi harus diamandemen UU dasar itu,” ujar Masinton.
Kemudian wacana hak angket ini merembet ke isu pemakzulan Presiden Joko Widodo. Isu tersebut berhembus dari politikus PKS Mardani Ali Sera.
Dia mencetuskan isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti.
“Jika faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi,” kata Mardani kepada wartawan.
Dia juga menyebut laporan utama sebuah majalah sebagai rujukan cawe-cawe Jokowi.
“Monggo dilanjutkan proses investigasinya jika merasa datanya verified,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengaku mendapat masukan masyarakat terkait wacana pemakzulan presiden.
Putusan itu dianggap bermasalah karena dianggap sengaja memberikan jalan bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden. Terlebih, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman merupakan ipar Jokowi.
“Itu yang embrio ke arah situ (pemakzulan) memang banyak masukan dari masyarakat,” kata Jazilul kepada wartawan, Sabtu (4/11/2023).
Sementara usulan hak angket sebagai bentuk kekecewaan terhadap MK yang dinilai sengaja memberikan karpet merah kepada Gibran.
“Kekecewaan ini makin lama makin hari makin meluas. Banyak tokoh-tokoh nasional yang meluapkan kekecewaan terhadap demokrasi yang makin terpuruk,” kata Jazilul. (jpnn/c1/abd)