Pemilu dan Godaan Opini Publik
ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)--
ADA fenomena menarik untuk dianalisis terkait rilis lembaga survei tentang elektabilitas tiga pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden sekitar seminggu sebelum pemungutan suara 14 Februari 2024. Di antaranya hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny J.A. yang menempatkan paslon nomor urut 2 Prabowo-Gibran sebagai peraih suara terbanyak. Bahkan di atas 50 persen.
Menurut survei Indikator Politik Indonesia, Prabowo-Gibran mendapat 51,8 persen, Anies-Cak Imin (nomor urut 1) memperoleh 24,1 persen, dan Ganjar-Mahfud (nomor urut 3) mendapatkan 19,6 persen. Survei LSI Denny J.A. menempatkan Prabowo-Gibran 53,5 persen, Anies-Cak Imin 21,7 persen, dan Ganjar-Mahfud 19,2 persen.
Jika hasil survei tersebut benar-benar sesuai dengan kenyataan, dapat dipastikan Pemilu 2024 berlangsung satu putaran. Sebab, salah satu paslon sudah mendapatkan suara 50 persen plus satu.
Ada kecenderungan para pendukung paslon yang diprediksi menang itu terus menyuarakan hasil survei tersebut di berbagai forum atau media. Tentu hal itu bisa membangun opini publik di kalangan masyarakat umum bahwa paslon itulah yang akan menang.
Persoalannya, sudah pastikah akan terjadi seperti itu atau apakah opini publik yang dibangun tersebut akan sesuai dengan kenyataan? Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi saat rilis hasil survei menegaskan, berkaca pada hasil survei, Pemilu 2024 berpotensi satu putaran dengan pemenangnya 02.
Yang perlu digarisbawahi dari pernyataan di atas adalah kata berpotensi, yang berarti memiliki kemungkinan. Hasil survei mungkin saja sesuai dengan kenyataan atau mungkin jua tidak sesuai.
Dinamika Politik
Dalam literatur opini publik, survei merupakan salah satu metode untuk mendapatkan gambaran tentang persepsi publik mengenai suatu isu atau fenomena. Dengan metodologi ilmiah, gambaran yang didapatkan biasanya cukup akurat atau mendekati kenyataan. Namun, tetap saja survei menganut prinsip probabilitas atau kemungkinan.
Terlepas dari kredibilitas lembaga survei yang dikenal selama ini, misalnya, ketat dalam menerapkan metodologinya, seperti dijelaskan saat rilis atau di-input di website-nya, potensi untuk tidak sesuai dengan kenyataan juga tetap ada. Lebih-lebih survei yang berkaitan dengan isu-isu sosial dan politik seperti elektabilitas paslon.
Termasuk elektabilitas paslon 02 yang melewati angka 50 persen itu, potensi tidak sesuai dengan kenyataan juga ada. Dalam hal ini, mungkin ada faktor X yang bisa mengubah hasil akhir. Katakanlah terkait dengan dinamika politik yang terjadi menjelang pemungutan suara.
Di antara dinamika politik tersebut adalah kian masifnya suara-suara kritis dari kampus, baik dari kalangan mahasiswa maupun dosen dan guru besar, yang mempersoalkan masalah etika dengan lolosnya Gibran sebagai cawapres. Berita-berita tersebut cukup kuat beresonansi di berbagai media, lebih-lebih di media-media sosial.
Memang suara-suara dari kampus lebih banyak menyasar kalangan menengah atau kelas terdidik sebagai pemilih rasional yang jumlahnya tidak sebanyak masyarakat umum. Sehingga suara-suara kritis mereka dianggap tidak terlampau kuat memengaruhi elektabilitas paslon. Sementara kalangan masyarakat umum, yang notabene merupakan pemilih tradisional, agaknya tidak terpengaruh.
Namun, dalam perspektif teori arus komunikasi dua arah (two steps flow communication), sebenarnya suara-suara kritis kampus bisa merembes masuk ke semua lapisan masyarakat, termasuk akar rumput (grassroots). Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Menurut teori tersebut, terdapat kelompok yang mampu memainkan peran penting. Yakni para pemuka pendapat (opinion leaders) seperti tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan agama, adat, dan sebagainya. Mereka berada di tengah-tengah antara lapisan atas dan bawah. Mereka adalah penghubung atau jembatan. Biasanya mereka jauh lebih dipercaya daripada kalangan yang lain, termasuk pemerintah, terutama di masyarakat dengan struktur tradisional.