Bertahan Hidup dari Jualan Bendera

Radar Lampung Baca Koran--
BANDARLAMPUNG – Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, warna merah putih mulai semarak di berbagai sudut kota.
Di tepi jalan, di pasar-pasar, hingga di pinggir lampu lalu lintas, bendera dan umbul-umbul berkibar. Bukan hanya simbol kemerdekaan, tetapi juga sumber penghidupan bagi para pedagang musiman.
Salah satunya Edi Sugriana, pria asal Garut, Jawa Barat. Setiap tahun, ia merantau ke berbagai daerah untuk menjajakan bendera merah putih.
BACA JUGA:Begal Ditangkap di Hotel
Tahun ini, sejak 25 Juli lalu, Edi menetap sementara di Bandar Lampung bersama delapan rekannya. Mereka tinggal di kawasan Pahoman dan setiap hari membuka lapak sederhana di pinggir Jalan Diponegoro, Telukbetung Utara.
Di lapak itu, deretan bendera berbagai ukuran, umbul-umbul, dan hiasan kemerdekaan tergantung rapi, mengundang perhatian warga yang melintas. “Alhamdulillah, setiap tahun saya keliling daerah untuk jualan bendera. Pernah juga sampai Papua demi mencari rezeki,” tutur Edi.
Pekerjaan ini bukan tanpa tantangan. Teriknya matahari, debu jalanan, dan kelelahan menjadi santapan sehari-hari. Namun semua itu dijalani Edi dengan ikhlas, demi menghidupi istri dan anak yang tinggal di kampung halaman.
Di sela kesibukannya berdagang, Edi selalu menyempatkan waktu untuk menghubungi keluarganya. Panggilan video bersama anaknya yang kini duduk di bangku SMP menjadi pengobat rindu. “Kalau rindu berat, lihat wajah mereka lewat video call saja sudah cukup bikin semangat lagi,” ujarnya sambil tersenyum.
Kini, tantangan lain datang dari perkembangan teknologi. Penjualan bendera secara online melalui marketplace membuat persaingan kian ketat. Namun, Edi tak gentar. Ia percaya, sentuhan langsung, tatap muka, dan semangat yang ia bawa tak bisa digantikan oleh layar gawai.
“Selama kita kerja keras dan jujur, insyaallah hasilnya ada. Bendera ini bukan sekadar barang dagangan, tapi simbol perjuangan,” ucapnya penuh keyakinan.
Bagi Edi Sugriana, merah putih bukan hanya bendera yang berkibar setiap Agustus, tetapi juga sumber harapan. Dari kain itu, ia membiayai sekolah anak, menghidupi keluarga, dan menjaga semangat untuk terus berjuang, di manapun ia berada. (sas/c1/yud)