SPI Pendidikan 2024 di Level Korektif

SPI PENDIDIKAN 2024: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Jejaring Pendidikan menggelar sosialisasi hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 secara virtual, Senin (23/6).--FOTO HUMAS KEMENAG LAMPUNG
Kemenag Lampung Siap Perkuat Integritas Lembaga Keagamaan
BANDARLAMPUNG - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Jejaring Pendidikan menggelar sosialisasi hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 secara virtual, Senin (23/6). Kegiatan ini dihadiri oleh para pemangku kebijakan pendidikan dari seluruh Indonesia, termasuk Plt. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung Erwinto.
Kepala Satgas 2 Direktorat Jejaring Pendidikan KPK RI Jermia Tjahjono Djati dalam sambutannya menyampaikan bahwa SPI Pendidikan merupakan instrumen penting untuk memetakan integritas dalam dunia pendidikan, termasuk di antaranya perilaku siswa, lingkungan pendidikan, dan tata kelola lembaga pendidikan.
"SPI ini menilai kejujuran, kedisiplinan, dan ketekunan belajar peserta didik, serta integritas tenaga pendidik dan tata kelola satuan pendidikan. Tujuan utamanya adalah memperkuat ekosistem pendidikan yang bersih dari korupsi," ujar Jermia.
Hasil SPI 2024 menunjukkan bahwa indeks integritas pendidikan nasional berada pada skor 69,50, yang menempatkan Indonesia pada Level 2 (Korektif). Kondisi ini mencerminkan adanya upaya perbaikan di berbagai sektor pendidikan, tetapi belum merata dan masih memerlukan penguatan sistem pengawasan serta penerapan nilai-nilai integritas.
Survei yang melibatkan hampir 450 ribu responden dari 38 provinsi dan 507 kabupaten/kota ini menyoroti tiga aspek utama: karakter peserta didik (78,01 – Level 3), ekosistem pendidikan (71,35 – Level 2), dan tata kelola (58,68 – Level 1). Dari ketiganya, tata kelola masih menjadi titik paling lemah dalam membangun sistem pendidikan yang transparan dan akuntabel.
Beberapa persoalan yang muncul dalam temuan survei antara lain tingginya praktik menyontek di sekolah dan perguruan tinggi, absensi tenaga pendidik tanpa alasan yang jelas, serta indikasi gratifikasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB), dana BOS, dan sertifikasi guru.