Transisi Energi lewat EBT hingga Nuklir Digenjot

DISKUSI PANEL: Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi Dalam Energi Mineral Forum 2025 yang digelar Kementerian ESDM dan B-Universe di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin (26/5). --FOTO BERITASATU.COM/ADDIN ANUGRAH SIWI
JAKARTA– Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkuat komitmennya dalam mempercepat transisi energi nasional guna mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060. Strategi yang dijalankan mencakup pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pengembangan energi baru terbarukan (EBT), dan memasukkan energi nuklir ke dalam bauran energi nasional.
Dalam Energi Mineral Forum 2025 yang digelar Kementerian ESDM dan B-Universe di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin (26/5), Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menekankan, lima tahun ke depan menjadi periode krusial bagi arah kebijakan energi Indonesia.
’’Kalau saya selalu bilang, there is no single solution. Kita harus mengombinasikan high carbon energy seperti batu bara, low carbon energy seperti gas, dan juga free carbon energy seperti EBT (energi baru terbarukan) dan nuklir,” kata Eniya dalam diskusi panel bertajuk "Energi Bersih untuk Kedaulatan Energi Nasional".
Eniya menyampaikan, Kementerian ESDM baru saja menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 yang menjadi payung strategi penurunan emisi di sektor ketenagalistrikan. Sejumlah langkah yang diambil antara lain co-firing biomassa, dedieselisasi pembangkit, retrofit PLTU, moratorium pembangunan PLTU baru, hingga percepatan pengembangan EBT seperti tenaga surya, angin, bioenergi, hidrogen, amonia, dan energi nuklir.
Meski peta jalan transisi energi telah disiapkan, Eniya menegaskan tantangan terbesar terletak pada sektor investasi. Pemerintah menargetkan investasi EBT sebesar USD1,5 miliar pada 2025, tetapi hingga Mei 2025 realisasinya baru mencapai sekitar USD299 juta.
Salah satu hambatan utama adalah kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang dinilai masih memengaruhi kelayakan investasi. ’’Kemarin isu TKDN sempat mencuat lagi, karena faktor investasi itu yang mungkin saat itu belum diketahui. Nah, ini kita sudah relaksasi, melakukan fleksibilitas terhadap isu TKDN di dalam investasi EBT,” ungkap Eniya.
Lebih lanjut, Eniya juga menyoroti pentingnya kesadaran kolektif dalam memperbaiki parameter ketahanan energi nasional, khususnya pada aspek keberlanjutan lingkungan. Saat ini, skor ketahanan energi Indonesia berada di angka 6,64 dari skala 6-8, tetapi sub-indikator acceptability (lingkungan) masih menjadi yang terendah. ’’Unsur ini yang masih lemah, sehingga kita ingin semua dari kita aware terhadap isu lingkungan dan EBT,” tegasnya. (beritasatu.com/c1)