Pendidikan Inklusif, Indonesia Progresif

Radar Lampung Baca Koran--
* Oleh: Pelita Sukma, S.Si.
HARI Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei bukan sekadar seremoni tahunan. Itu adalah momen untuk merenung, mengkaji kembali perjalanan dunia pendidikan Indonesia, serta menetapkan arah baru menuju cita-cita luhur bangsa.
Dalam konteks 2025, refleksi ini menjadi semakin mendesak. Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat –dengan hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI), transformasi sosial, dan tantangan global– pendidikan nasional perlu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati dirinya.
BACA JUGA:Kemendikdasmen Luncurkan 4 Paket Program di Hardiknas 2025
Hardiknas selalu dikaitkan dengan sosok Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional yang meletakkan dasar pemikiran bahwa pendidikan adalah sarana untuk memerdekakan manusia.
Dalam pandangan Ki Hadjar, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan usaha untuk membentuk manusia yang berdaya, merdeka lahir batin, serta mampu menjalani hidupnya secara bermartabat.
Prinsip "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" bukan hanya ungkapan indah, melainkan falsafah pendidikan yang terus relevan sepanjang masa.
Namun, seiring bergulirnya waktu, cita-cita itu menghadapi tantangan. Pendidikan nasional hari ini berada di tengah pusaran perubahan global.
Dunia tidak lagi sama seperti dua dekade lalu. Digitalisasi, perubahan iklim, revolusi industri 4.0, hingga ketidakpastian ekonomi global, semua itu menuntut sistem pendidikan yang adaptif dan inovatif. Jika pendidikan gagal menyesuaikan diri, maka ia akan tertinggal dan menyeret bangsa ini ke jurang ketertinggalan.
Di sisi lain, kesenjangan pendidikan antarwilayah, antara kota besar dan daerah terpencil, antara kelompok sosial ekonomi tinggi dan rendah, masih menganga lebar. Pendidikan berkualitas belum menjadi hak universal semua anak Indonesia. Padahal, dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, "Mencerdaskan kehidupan bangsa" adalah salah satu tujuan utama berdirinya negara ini.
Dalam konteks Hardiknas 2025, sudah waktunya kita tidak lagi sekadar memperingati, tetapi menggunakannya sebagai momentum kolektif untuk menata ulang arah pendidikan nasional.
Kita perlu mempertanyakan kembali: Apakah pendidikan kita sudah membebaskan? Sudahkah ia memberdayakan? Ataukah justru melanggengkan ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural?
Refleksi ini penting karena pendidikan bukan entitas statis. Namun, merupakan organisme hidup yang harus terus diperbaharui. Pendidikan harus menjadi alat emansipasi, bukan domestikasi; harus membuka cakrawala, bukan menutupnya; harus mengembangkan potensi anak, bukan mengerdilkannya. Inilah tantangan kita bersama.
Tidak adil jika hanya menyoroti sisi gelap pendidikan Indonesia tanpa mengakui capaian-capaian positif yang telah diraih. Selama dua dekade terakhir, Indonesia mencatatkan berbagai kemajuan signifikan dalam dunia pendidikan.