Jumat, 02 Mei 2025
Network
Beranda
Berita Utama
Ekonomi Bisnis
Lampung Raya
Politika
Olahraga
Metropolis
Lainnya
Advertorial
Edisi Khusus
Iklan Baris
Sosok
Bursa Kerja
Arsitektur
Wisata dan Kuliner
Otomotif
Teknologi
Lifestyle
Kesehatan
Hobi
Kriminal
Pendidikan
Edisi Ramadan
Network
Beranda
Berita Utama
Detail Artikel
Keadilan Buruh, Keadilan Sosial
Reporter:
Tim Redaksi
|
Editor:
Tim Redaksi
|
Selasa , 29 Apr 2025 - 21:29
Radar Lampung Baca Koran--
keadilan buruh, keadilan sosial * oleh: hasanudin alam pada tanggal 1 mei, yang diperingati sebagai hari buruh internasional, merupakan tonggak sejarah yang sarat makna dalam perjuangan kelas pekerja di seluruh dunia. berawal dari peristiwa haymarket di chicago pada tahun 1886, di mana para buruh memperjuangkan hak untuk bekerja delapan jam sehari, hari buruh menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi tenaga kerja. indonesia sendiri, yang mulai mengadopsi peringatan ini pada masa pergerakan kemerdekaan, menjadikan hari buruh bukan hanya momentum peringatan, tetapi juga medan perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum pekerja. baca juga:dprd: upah buruh harus ada rasa keadilan dalam konteks indonesia modern, hari buruh tidak hanya menjadi ajang turun ke jalan, melainkan juga sarana refleksi terhadap berbagai dinamika ketenagakerjaan yang terus bergulir. meskipun telah lebih dari satu abad berlalu sejak tuntutan jam kerja layak itu dikumandangkan, persoalan mendasar dalam dunia kerja ternyata belum benar-benar selesai. upah yang belum memenuhi standar hidup layak, jam kerja yang seringkali melampaui batas, hingga masih lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja, menjadi ironi dalam era yang disebut-sebut sebagai zaman kemajuan dan kesejahteraan. lebih jauh, perkembangan teknologi dan globalisasi membawa tantangan baru. revolusi industri 4.0, dengan hadirnya otomatisasi dan digitalisasi, menciptakan transformasi besar dalam struktur dunia kerja. banyak jenis pekerjaan tradisional yang mulai tergerus, sementara jenis pekerjaan baru muncul dengan tuntutan keterampilan yang jauh berbeda. fenomena ini, alih-alih membuka peluang baru secara merata, justru memperlebar kesenjangan antara pekerja yang mampu beradaptasi dengan perubahan, dan mereka yang tersisih oleh ketidakmampuan struktural untuk mengakses pendidikan serta pelatihan ulang. ironisnya, di tengah retorika pembangunan ekonomi dan peningkatan investasi, buruh seringkali hanya diposisikan sebagai komponen produksi semata, bukan sebagai subjek pembangunan yang hak-haknya harus dijunjung tinggi. kebijakan ketenagakerjaan kerap berpihak pada fleksibilitas pasar ketimbang perlindungan pekerja, sebagaimana terlihat dalam regulasi-regulasi kontroversial seperti omnibus law yang mengubah berbagai ketentuan terkait hak pekerja dengan dalih menarik investasi. peringatan hari buruh sejatinya bukan hanya sekedar ritual tahunan, melainkan panggilan untuk mengingatkan semua pihak: negara, pengusaha, dan masyarakat sipil, bahwa kesejahteraan pekerja adalah fondasi utama keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. negara bertanggung jawab memastikan keseimbangan antara kebutuhan dunia usaha dan perlindungan pekerja, sedangkan perusahaan wajib memandang pekerja bukan sekadar faktor produksi, melainkan sebagai mitra dalam pertumbuhan bisnis. lebih dari itu, hari buruh harus menjadi refleksi kolektif untuk mengevaluasi sejauh mana janji-janji konstitusional mengenai hak atas pekerjaan yang layak telah diwujudkan. uud 1945, melalui pasal 27 ayat (2), jelas menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. namun, realitas menunjukkan bahwa hak ini belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan pekerja, terutama mereka yang berada di sektor informal, pekerja migran, perempuan pekerja, serta buruh muda yang baru memasuki dunia kerja. dunia ketenagakerjaan saat ini tengah berada dalam pusaran perubahan besar. di tingkat global, pandemi covid-19 yang melanda pada tahun 2020 mempercepat transformasi cara bekerja, memperjelas kerentanan struktural yang selama ini tersembunyi. organisasi perburuhan internasional (ilo) mencatat bahwa pada puncak pandemi, lebih dari 400 juta pekerjaan penuh waktu hilang di seluruh dunia. indonesia sendiri tidak terlepas dari dampak ini: data dari badan pusat statistik (bps) menunjukkan adanya peningkatan tingkat pengangguran terbuka menjadi 7,07% pada agustus 2020, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir. walaupun kondisi perlahan membaik seiring pemulihan ekonomi, ketidakpastian tetap membayangi. tren pekerjaan tidak lagi sepenuhnya berbasis kontrak permanen, tetapi bergeser menuju model kerja fleksibel yang sering kali tidak memberikan jaminan keamanan kerja maupun hak-hak ketenagakerjaan yang memadai. di satu sisi, model ini memberi ruang fleksibilitas yang dihargai oleh sebagian pekerja muda; namun di sisi lain, ia menempatkan mayoritas pekerja dalam situasi rentan tanpa perlindungan sosial yang memadai. fenomena ini diperparah dengan ketidakmerataan akses terhadap kesempatan kerja yang layak. ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta antara sektor formal dan informal, tetap menjadi masalah kronis. sektor informal — yang mencakup lebih dari 59% dari total pekerja di indonesia — kerap kali menjadi tempat "pelarian" bagi mereka yang tidak mampu mengakses sektor formal, dengan konsekuensi rendahnya pendapatan dan hampir nihilnya jaminan sosial. dalam diskursus ekonomi neoliberal, fleksibilitas pasar tenaga kerja sering dipromosikan sebagai kunci peningkatan daya saing nasional. namun, narasi ini kerap melupakan fakta bahwa fleksibilitas tersebut sering kali berarti penghilangan hak-hak dasar buruh. sistem kerja kontrak jangka pendek, outsourcing, hingga kerja berbasis proyek (gig economy) menjadi instrumen utama yang digunakan untuk mereduksi tanggung jawab pengusaha terhadap pekerjanya. dalam praktiknya, fleksibilitas ini cenderung berubah menjadi bentuk eksploitasi modern. pekerja tidak hanya harus menerima ketidakpastian atas masa depan mereka, tetapi juga harus bersaing dalam pasar kerja yang semakin padat dan menuntut multikompetensi. tanpa perlindungan sosial yang memadai, pekerja fleksibel ini menjadi kelompok paling rentan terhadap guncangan ekonomi, perubahan teknologi, maupun krisis kesehatan global. di indonesia, fenomena ini makin nyata dengan adanya regulasi-regulasi yang dinilai memperlemah posisi tawar pekerja, seperti penghapusan batasan maksimal perjanjian kerja waktu tertentu (pkwt) dalam omnibus law. hal ini membuka ruang legalisasi terhadap praktek kerja tidak tetap dalam jangka panjang, yang secara esensial bertentangan dengan prinsip keamanan kerja yang telah lama diperjuangkan oleh gerakan buruh. revolusi industri 4.0 — dengan otomatisasi, kecerdasan buatan, dan internet of things — menghadirkan perubahan struktural yang mendalam pada pasar tenaga kerja. banyak pekerjaan manual, repetitif, dan berbasis keterampilan rendah kini digantikan oleh mesin dan algoritma. sementara itu, pekerjaan baru yang muncul menuntut keterampilan tinggi dalam bidang teknologi, analisis data, dan inovasi kreatif. dalam konteks ini, pekerja yang tidak memiliki akses pada pendidikan bermutu dan pelatihan ulang (reskilling) berisiko besar terpinggirkan. menurut world economic forum, hingga tahun 2025, sekitar 85 juta pekerjaan mungkin tergantikan oleh mesin, tetapi 97 juta jenis pekerjaan baru akan muncul. namun, transisi ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis atau adil; pekerja dari kalangan bawah yang paling minim akses ke pendidikan akan menjadi korban utama dari pergeseran ini. indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ini. kualitas pendidikan tenaga kerja yang rendah, disparitas akses antarwilayah, serta lambannya reformasi sistem pelatihan kerja menjadi batu sandungan serius dalam upaya menghadapi revolusi ini. tanpa intervensi negara yang proaktif dalam membangun ekosistem pendidikan dan pelatihan yang adaptif, revolusi industri justru akan memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. sebagian besar buruh di indonesia masih berada di sektor informal — sektor yang secara historis tumbuh karena ketidakmampuan ekonomi formal menyerap seluruh tenaga kerja. di sektor ini, buruh bekerja tanpa kontrak formal, tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan ketenagakerjaan, dan dengan pendapatan yang jauh di bawah standar hidup layak. pekerja sektor informal ini meliputi pedagang kaki lima, buruh bangunan lepas, pekerja rumah tangga, hingga pengemudi ojek online. mereka sering kali tidak terorganisir dalam serikat pekerja, sehingga suaranya nyaris tidak terdengar dalam perumusan kebijakan publik. selama pandemi, mereka termasuk kelompok yang paling terdampak, dengan banyak di antara mereka yang kehilangan sumber penghidupan tanpa adanya jaring pengaman sosial yang efektif. sayangnya, berbagai kebijakan ketenagakerjaan nasional masih terlalu fokus pada buruh formal, dengan program-program bantuan sosial yang bersifat karitatif dan tidak berkelanjutan. tanpa upaya serius untuk membangun skema perlindungan sosial universal yang menjangkau pekerja informal, maka peringatan hari buruh akan tetap menjadi seremoni kosong bagi mayoritas tenaga kerja indonesia. isu upah minimum selalu menjadi jantung dari tuntutan buruh di indonesia. setiap tahun, diskusi tentang penetapan upah minimum menjadi polemik antara serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah. secara teoritis, upah minimum ditujukan untuk melindungi pekerja dari eksploitasi dan menjamin standar hidup layak. namun dalam praktiknya, upah minimum seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, apalagi memberikan ruang bagi pengembangan kualitas hidup. upah minimum yang ditetapkan berdasarkan formula pertumbuhan ekonomi dan inflasi, seperti diatur dalam peraturan pemerintah no. 36 tahun 2021 tentang pengupahan, secara substansial mengabaikan kebutuhan riil pekerja. ketentuan ini lebih mengutamakan prediktabilitas biaya produksi bagi pengusaha ketimbang memperhatikan kelayakan hidup pekerja. di sisi lain, kebijakan tersebut meminggirkan konsep kebutuhan hidup layak (khl) yang semestinya menjadi standar utama dalam penetapan upah. di banyak daerah, upah minimum bahkan tidak sebanding dengan biaya hidup. misalnya, di kawasan industri besar seperti jabodetabek, para buruh mengeluhkan bahwa meskipun upah minimum naik, biaya sewa tempat tinggal, transportasi, dan kebutuhan pokok meningkat lebih cepat. dengan kondisi ini, banyak pekerja terjebak dalam kemiskinan pekerja (working poverty), sebuah ironi di negara yang mengklaim pertumbuhan ekonominya stabil. upah minimum yang rendah juga berdampak sistemik pada produktivitas dan loyalitas pekerja. tanpa insentif ekonomi yang memadai, sulit mengharapkan pekerja menunjukkan dedikasi dan inovasi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing nasional. salah satu perkembangan paling kontroversial dalam dunia ketenagakerjaan indonesia adalah semakin meluasnya praktik kerja kontrak dan outsourcing. sistem ini awalnya dimaksudkan untuk memberi fleksibilitas kepada perusahaan dalam mengelola tenaga kerja, terutama dalam sektor-sektor dengan permintaan yang fluktuatif. namun, kenyataannya, sistem ini justru menjadi alat untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak pekerja tetap. pekerja kontrak dan outsourcing sering kali bekerja dalam kondisi yang sama dengan pekerja tetap, namun tanpa jaminan masa depan. mereka menghadapi ketidakpastian perpanjangan kontrak, minimnya akses terhadap program jaminan sosial, serta keterbatasan dalam membangun karier. ketimpangan ini menciptakan suasana kerja yang penuh ketidakpastian dan ketidakadilan. kebijakan dalam omnibus law semakin memperparah situasi ini. dengan memperlonggar batasan penggunaan tenaga kerja kontrak dan memperluas sektor yang diperbolehkan menggunakan outsourcing, regulasi tersebut membuka ruang lebih lebar bagi eksploitasi pekerja. alih-alih memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, negara justru tampak mengambil posisi sebagai fasilitator kepentingan kapital. perlindungan sosial bagi pekerja di indonesia masih jauh dari ideal. meskipun terdapat program jaminan sosial seperti bpjs kesehatan dan bpjs ketenagakerjaan, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kualitas layanan yang buruk, administrasi yang rumit, hingga rendahnya tingkat kepesertaan, terutama di sektor informal. banyak pekerja kontrak dan outsourcing tidak diikutkan dalam program jaminan sosial, atau jika diikutkan sekalipun, hanya secara formalitas tanpa pembayaran iuran yang memadai. situasi ini menempatkan pekerja dalam posisi sangat rentan terhadap risiko kesehatan, kecelakaan kerja, dan masa tua tanpa jaminan. kegagalan negara dalam memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas sistem perlindungan sosial mencerminkan kegagalan lebih besar dalam memandang pekerja sebagai warga negara penuh yang berhak atas keamanan sosial. perlindungan sosial bukan sekadar kewajiban moral, melainkan mandat konstitusional yang wajib dipenuhi negara sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan ekonomi. hak pekerja untuk berserikat, berunding bersama, dan melakukan aksi kolektif merupakan hak fundamental yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. namun dalam praktiknya, banyak perusahaan di indonesia yang melakukan union busting — tindakan sistematis untuk melemahkan, menghalangi, atau membubarkan serikat pekerja. modus union busting beragam, mulai dari intimidasi, pemecatan aktivis serikat, hingga pembentukan serikat pekerja tandingan yang pro-manajemen. negara, melalui aparat penegak hukum, sering kali tidak berpihak pada pekerja, bahkan dalam beberapa kasus terlibat langsung dalam represi terhadap aksi-aksi buruh. kriminalisasi terhadap buruh dan aktivis pekerja juga marak terjadi. mereka yang memperjuangkan hak-haknya tidak jarang dikenakan pasal-pasal pidana seperti "mengganggu ketertiban umum" atau "penghasutan," yang aplikasinya sering kali sangat bias dan represif. kondisi ini menunjukkan bahwa kebebasan berserikat dan berpendapat di indonesia, meskipun dijamin di atas kertas, belum sepenuhnya dihormati di lapangan. tanpa kebebasan berserikat yang efektif, pekerja kehilangan alat utama mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif. gerakan buruh di indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sebelum kemerdekaan. pada awal abad ke-20, seiring dengan munculnya kesadaran nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme, gerakan buruh menjadi bagian integral dari perjuangan bangsa. organisasi seperti sarekat islam, yang berdiri pada 1912, turut memperjuangkan hak-hak ekonomi rakyat, termasuk kaum pekerja. masa kolonial memperlihatkan bagaimana buruh menjadi kekuatan politik yang signifikan. pendirian perserikatan komunis di hindia pada 1920-an banyak melibatkan elemen buruh, dan pemogokan massal menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. pasca kemerdekaan, buruh tetap menjadi aktor penting dalam dinamika politik nasional, terutama melalui organisasi seperti sobsi (sentral organisasi buruh seluruh indonesia), yang berafiliasi dengan partai komunis indonesia. namun, tragedi politik 1965 menjadi titik balik kelam bagi gerakan buruh. dengan dibubarkannya sobsi dan pembasmian kekuatan-kekuatan progresif, gerakan buruh di indonesia lumpuh selama bertahun-tahun di bawah rezim orde baru. buruh dipaksa tunduk pada serikat pekerja tunggal yang dikendalikan negara, spsi (serikat pekerja seluruh indonesia), dan segala bentuk gerakan independen diberangus secara brutal. kebangkitan gerakan buruh baru terjadi menjelang kejatuhan orde baru di akhir 1990-an. reformasi politik membuka ruang bagi kebebasan berserikat, yang kemudian melahirkan banyak serikat buruh independen. namun, tantangan baru pun muncul dalam bentuk fragmentasi dan lemahnya konsolidasi gerakan. sejak era reformasi, gerakan buruh indonesia mencatat beberapa capaian penting. salah satu pencapaian monumental adalah pengesahan undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang memberi perlindungan lebih baik dibandingkan sebelumnya. selain itu, buruh berhasil mendorong pengakuan atas hak-hak normatif seperti upah minimum, hak cuti melahirkan, dan perlindungan terhadap diskriminasi. namun demikian, gerakan buruh juga menghadapi banyak kegagalan. salah satu kegagalan terbesar adalah ketidakmampuan untuk mencegah lahirnya kebijakan-kebijakan pro-pasar seperti omnibus law. dalam kasus ini, meskipun terjadi mobilisasi massa besar-besaran, kekuatan gerakan buruh tidak cukup untuk membendung tekanan politik dan ekonomi dari oligarki bisnis. kegagalan ini mencerminkan lemahnya kekuatan lobby politik buruh, ketidakmampuan membangun aliansi strategis dengan gerakan sipil lainnya, serta minimnya kaderisasi politik di dalam tubuh serikat pekerja sendiri. salah satu masalah kronis dalam gerakan buruh indonesia adalah fragmentasi organisasi. terdapat ratusan serikat buruh di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat perusahaan hingga tingkat nasional, yang sering kali berjalan sendiri-sendiri bahkan saling bersaing. fragmentasi ini bukan hanya soal jumlah organisasi, tetapi juga perbedaan orientasi, strategi, dan kepentingan antar serikat. ada serikat yang fokus pada pendekatan legal-formal, ada pula yang lebih militans, sementara sebagian lainnya pragmatis dengan melakukan kompromi terhadap perusahaan atau pemerintah. ketiadaan koordinasi yang solid membuat kekuatan buruh terpecah, melemahkan posisi tawar mereka dalam negosiasi dengan pemerintah maupun pengusaha. kondisi ini diperparah dengan ego sektoral dan kurangnya visi jangka panjang untuk membangun gerakan buruh sebagai kekuatan politik nasional. perubahan ekonomi global memperkenalkan bentuk-bentuk baru hubungan kerja, terutama melalui digitalisasi. pekerja platform seperti pengemudi ojek online, pekerja lepas digital (freelancer), dan buruh kreatif kini membentuk segmen besar dalam dunia kerja. mereka bekerja dalam sistem yang sangat fleksibel, namun tanpa perlindungan formal seperti upah minimum, jaminan sosial, atau hak berunding kolektif. gerakan buruh tradisional seringkali belum mampu merangkul kelompok pekerja baru ini. model serikat pekerja konvensional sulit diterapkan pada pekerja yang tidak memiliki hubungan kerja formal, apalagi dengan sistem kerja berbasis algoritma dan platform digital. hal ini menuntut gerakan buruh untuk beradaptasi dan memperluas basisnya. tanpa pembaruan strategi, gerakan buruh berisiko kehilangan relevansi di tengah perubahan besar struktur ketenagakerjaan global. beberapa inisiatif baru mulai muncul, seperti upaya membentuk "serikat ojek online" atau asosiasi freelancer. namun, upaya ini masih sporadis dan sering terkendala kurangnya dukungan hukum serta rendahnya kesadaran kolektif di kalangan pekerja digital. (*) *) penulis merupakan komisioner bawaslu kota bandarlampung sekaligus alumni hmi lampung
1
2
3
4
»
Last
Tag
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Koran Radar Lampung 1 Mei 2025
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Lumpia Goreng Ayam Jamur yang Gurih dan Praktis
Wisata dan Kuliner
1 hari
Korupsi JTTS, KPK Sita 65 Bidang Tanah di Lamsel
Berita Utama
1 hari
Kreativitas Street Punk di Bandarlampung, Suarakan Perdamaian Lewat Mural.
Hobi
23 jam
Kunjungi Rumah BUMN Bandar Lampung, Expert PUM Netherlands Bagikan Strategi Perkuat UMKM Lokal
Ekonomi Bisnis
10 jam
Israel Dilanda Kebakaran Terbesar, Puluhan Titik Api Picu Evakuasi Massal dan Permintaan Bantuan Internasional
Berita Utama
1 hari
Bayi Terlantar Ditemukan Warga, Bunda Eva: Semoga Tumbuh Jadi Anak yang Kuat
Metropolis
1 hari
Berita Pilihan
Mall Jadi Tempat yang Cocok untuk Isi Libur Panjang
Edisi Khusus
2 minggu
8 Tips Membantu Anak Mengatasi Post-Holiday Blues
Kesehatan
3 minggu
10 Minuman Herbal Alami untuk Bantu Bakar Lemak Pasca Lebaran
Kesehatan
3 minggu
Komnas HAM Pantau Penegakan Hukum di Waykanan
Berita Utama
3 minggu
64 Pekerja Laporkan Masalah THR ke Disnaker Lampung
Metropolis
3 minggu