Ironis, 75% Anak Usia 15 Tahun Bisa Membaca tapi Tak Paham

TAK PAHAM MEMBACA: Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengungkapkan 75 persen anak usia 15 tahun di Indonesia mampu membaca, tetapi tidak memahami isi bacaan.-FOTO ZALZILATUL HIKMIA/JAWAPOS.COM-
JAKARTA – Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang berat terkait literasi dan numerasi anak-anak di Indonesia. Saat ini, 75 persen anak usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan membaca di bawah standar atau di bawah level 2 Programme for International Student Assessment (PISA).
Hal ini disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah di kantor PPSDM Kemendikdasmen, Depok, Jawa Barat, Selasa (29/4).
Menurut Mu’ti, level ini artinya mereka hanya bisa membaca namun tak memahami apa yang tengah dibaca. ’’Mereka kesulitan memahami gagasan utama dari sebuah teks panjang,” katanya.
Tak hanya literasi. Mu’ti menyatakan numerasi juga tak kalah mengkhawatirkan. ’’Sebanyak 82 persen anak usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan matematika di bawah standar atau di bawah level 2 PISA. Artinya, mereka kesulitan memahami aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari,’’ ujarnya
BACA JUGA:Tak Lolos UTBK-SNBT 2025, UML Siap Menampung
Sebagai informasi, PISA merupakan studi internasional yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan di berbagai negara. Studi ini mengukur kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam membaca, matematika, sains, dan kompetensi lainnya.
Data PISA tersebut kemudian diperkuat dengan hasil asesmen nasional (AN) tingkat SMP/MTs 2024. Persentase siswa mencapai kompetensi minimum literasi ternyata masih rendah dan kebanyakan masih berada di wilayah Pulau Jawa, sebagian Kalimantan seperti wilayah Kalimantan Timur dan Selatan, serta beberapa wilayah Sumatera seperi Riau. Sementara angka di bawah 40 persen masih didominasi wilayah Indonesia Timur, seperti kawasan di Pulau Papua dan Maluku.
Kondisi serupa, kata Mu’ti, terjadi pada persentase capaian siswa dalam kompetensi minimum numerasi. ’’Di mana, kondisi merah membara atau persentase di bawah 40 persen untuk kemampuan numerasi ini juga masih didominasi wilayah Indonesia Timur. Adapun kesenjangan kualitas hasil belajar antar-wilayah juga menjadi tantangan yang harus kita atasi bersama. Perlu intervensi untuk mengatasi ketertinggalan, terutama di sebagian kawasan Indonesia Timur. Pemerintah daerah memainkan peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di masing-masing wilayahnya,” papar Mu’ti.
Situasi ini, kata Mu’ti, diperburuk dengan kondisi sarana-prasarana pada sebagian sekolah yang membutuhkan perbaikan. ’’Khususnya untuk jenjang pendidikan dasar. Merujuk data BPS 2024, 49 persen ruang kelas di jenjang SD mengalami kerusakan jenis ringan/sedang. Kemudian 11 persen rusak berat. Di jenjang SMP, 42 persen bangunan rusak rusak ringan/sedang dan 7 persen rusak berat. Sementara pada jenjang SMA, 33 persen ruang kelas rusak ringan/sedang dan 6 persen rusak berat. Lalu di level SMK, 33 persen rusak ringan/sedang dan 3 persen rusak berat. Ini yang menjadi alasan kenapa kemudian Bapak Presiden membuat kebijakan agar revitalisasi sekolah menjadi bagian dari agenda besar kita dan agenda memperbaiki pendidikan di tanah air,” ungkapnya. (jpc/c1/ful)