Modantara Apresiasi Pemberian Bonus Hari Raya untuk Ojol dan Kurir, Tapi Soroti Ketidaksesuaian Surat Edaran

Modantara mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo terkait bonus hari raya (BHR) untuk pengemudi ojol dan kurir, namun menyoroti ketidaksesuaian dalam surat edaran Kemenaker yang dianggap tidak mempertimbangkan kompleksitas industri. -FOTO DISWAY -

JAKARTA – Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) memberikan apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mencanangkan pemberian bonus hari raya (BHR) untuk pengemudi ojek online (ojol) dan kurir. Namun, apresiasi ini tetap mempertimbangkan keaktifan pekerja dan kemampuan finansial perusahaan.
Namun, Modantara mencatat adanya ketidaksesuaian antara Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja Nomor M/3/HK.04.OANU2A25 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi dengan arahan presiden. Mereka menilai surat edaran tersebut cenderung tidak menggambarkan pemahaman yang memadai terhadap kompleksitas industri dan ekosistem yang ada.

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, mengungkapkan bahwa imbauan dalam Surat Edaran Kemnaker berbeda dengan arahan Presiden yang menyebutkan bahwa BHR diberikan kepada mitra yang aktif.

“Bayangkan apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan 1-2 order mendapatkan BHR? Apakah adil bagi mereka yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif? Bonus seharusnya diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target, serta kemampuan finansial perusahaan, bukan hanya berdasarkan pendaftaran,” jelas Agung melalui keterangannya pada Selasa, 18 Maret 2025.

Agung juga mengkritisi ketentuan perhitungan BHR sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir bagi mitra produktif, yang dinilai memberatkan bagi sebagian besar platform. Ia menambahkan, tanpa adanya kejelasan terkait definisi pendapatan bersih, ketentuan ini justru dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya.

“Seharusnya, pemerintah tidak perlu mendikte besaran persentase BHR. Cukup serahkan kepada perusahaan sesuai dengan kemampuan finansial mereka, mengingat setiap platform memiliki model bisnis dan struktur biaya operasional yang berbeda-beda,” kata Agung.

Agung menegaskan bahwa surat edaran tersebut bukan regulasi yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu, pemberian BHR ojol tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha. Ia menyarankan agar pemerintah tidak memaksakan perusahaan swasta merugi untuk memberikan bonus.

“Jika perusahaan pailit, pemerintah pun tidak dapat memberikan bantuan. Jika perusahaan memberikan bonus, itu adalah itikad baik yang perlu diapresiasi berapapun angkanya. Maka setiap perusahaan berhak menentukan kriteria produktivitas dalam memberikan bonus,” jelas Agung.

Menurut Agung, kebijakan yang hanya didasarkan pada tuntutan pihak-pihak yang tidak berada dalam ekosistem ini bisa berakibat fatal. Ia mengutip contoh di negara lain, seperti di Swiss, di mana jumlah pengemudi Uber Eats turun 67% setelah putusan pengadilan, atau di Spanyol, di mana Glovo hanya mempertahankan 17% mitranya, Uber memberhentikan 4.000 mitra, dan Deliveroo keluar dari pasar.

“Jika kebijakan dipaksakan, risikonya bisa lebih besar, seperti meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan orang yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif,” tambah Agung.

Agung juga mengapresiasi setiap upaya untuk mendukung mitra pengemudi, namun menekankan bahwa kebijakan harus tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini.

“Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru dapat menciptakan masalah yang lebih besar,” ujarnya.

Ke depan, Agung berharap pemerintah dapat menggandeng pihak-pihak yang memiliki relevansi dan kredibilitas dengan kebijakan yang akan diambil, serta yang benar-benar bagian dari ekosistem. (disway/c1/abd)

Tag
Share