RAHMAT MIRZANI

PT Dominasi Kasus Kekerasan Seksual

JAKARTA – Kekerasan terus terjadi di satuan pendidikan, baik itu sekolah maupun perguruan tinggi (PT). Berdasarkan Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4 persen peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan (bullying).
Deputi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Modernisasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito mengatakan angka kekerasan di satuan pendidikan terus mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir. Jenis kekerasannya pun beragam, mulai fisik, psikis, hingga seksual.
Merujuk data Simfoni PPA Kemen-PPPA, hingga September 2023 anak yang mengalami kekerasan 12.736 anak. Angka kekerasan sudah lebih dari separo angka kekerasan pada 2022 sebanyak 21.241 korban. Padahal, 2023 masih beberapa bulan lagi. Kemudian jika didetailkan lagi, dari 12.736 anak yang mengalami kekerasan, 1.263 anak di antaranya mengalami kekerasan di sekolah dengan jumlah kasus mencapai 1.027 kasus.
”Secara data, grafiknya naik angka kekerasan ini. Ini menjadi konsen kami, bagaimana ke depan kekerasan ini bisa kita hindari di satuan pendidikan yang harusnya menjadi tempat yang aman,” tutur Warsito dalam Seminar Nasio­nal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidik­an di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Selasa (24/10).
Warsito berharap masalah kekerasan di satuan pendidikan dapat terurai. Mengingat sudah banyak peraturan terkait kekerasan ini, namun kasus masih tetap terjadi. Misalnya perlu pendidikan orang tua dan keluarga perlu dimasukkan dalam kurikulum menjelang pernikahan, mendidik anak ketika balita, atau bekerja sama dengan psikolog untuk pendidikan di sekolah. ”Jadi bisa diketahui, misal juknisnya kurang apa. Nanti didetailkan lagi,” ungkapnya.
Dengan masukan-masukan ter­sebut, pihaknya bisa menindaklanjutinya dalam program prioritas tahun depan. Diharapkan kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan bisa berkurang. Mengingat kekerasan ini dapat berdampak negatif bagi anak, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Secara fisik, kekerasan dapat menyebabkan anak meng­alami luka-luka, bahkan kematian. Secara psikologis, kekerasan dapat menyebabkan anak mengalami trauma, kecemasan, dan depresi. Secara sosial, kekerasan dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan bersosialisasi dan memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Sementara Inspektur II Kemendikbudristek Sutoyo memaparkan, ada tiga dosa besar di satuan pendidikan yang berusaha dihapus oleh pihaknya. Ketiganya adalah kekerasan seksual, perundungan (bullying), dan intoleransi. Untuk kasus kekerasan seksual, kata Suto­yo, paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Tercatat ada 65 kasus yang ditangani oleh pihaknya. Disusul, sekolah dasar 28 kasus dan sekolah menengah 22 kasus. ”Kalau kita bicara kekerasan seksual, perguruan tinggi mendominasi kasusnya,” ungkap Sutoyo.
Belum lagi dengan perundung­an. Dari 61 kasus yang ditangani, paling banyak terjadi di sekolah menengah. Yakni 30 kasus. Kemudian sekolah dasar dengan 18 kasus dan perguruan tinggi sebanyak 13 kasus. ”Kalau yang terkait perundungan mulai bergeser, yang paling mendominasi di jenjang pendidikan menengah,” jelas Sutoyo.
Kondisi yang sama terjadi di kasus intoleransi. Satuan pendidikan menengah masih mendominasi dengan laporan sebanyak 13 kasus. Sementara di satuan pendidikan sekolah dasar tercatat 9 kasus dan tingkat perguruan tinggi hanya 2 kasus.
Kemendikbudristek, kata Sutoyo, telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Atur­an ini membahas secara detail mengenai upaya pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidik­an. Pembagian tugasnya pun disampaikan dengan rinci, apa yang harus dilakukan sekolah, dinas pendidikan, hingga pemda terkait upaya pencegahan kekerasan di satuan pendidikan ini.
Namun, menurut Komisioner KPAI Aris Adi Leksono, belum semua sekolah memahami betul Permendikbud tersebut. Malah, ada juga kepala sekolah yang tak tahu aturan tersebut. ”Gimana mau tahu tugasnya. Ini aturannya saja dia tidak tahu, apalagi isinya,” ungkapnya.
Aris berharap agar pemerintah lebih massif lagi dalam menyosialisasikan aturan tersebut. Termasuk menekankan pentingnya peran guru dalam upaya pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. (jpc/c1/ful)

 

perguruan tinggi, Dominasi, Kasus Kekerasan Seksual

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan