Terorisme Tak Berhubungan dengan Agama!
KENDURI: Brigjen Ahmad Nur Wahid, Direktur Deradikalisasi BNPT (ketiga dari kiri), saat Kenduri di Sesat Agung Bumi Gayo Ragem Sai Mangi Wawai, Tubaba, Kamis (23/11). -FOTO YUSUF A.S./RADAR LAMPUNG-
TUBABA - Terorisme sejatinya tidak ada hubungan langsung dengan agama tertentu. Terorisme itu adalah aksi dari oknum yang berpemahaman radikal dan ekstremisme serta terorisme. Adapun terorisme hanya berkaitan dengan pribadi seseorang.
Terkadang kelompok terorisme menunggangi agama mayoritas yang ada di sebuah negara. Sebagai contoh, adanya terorisme yang ada di Burma dan Rohingya serta Indonesia.
Kesimpulan ini diungkapkan oleh Brigjen Pol. Dr. R. Ahmad Nur Wahid, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saat acara Kenali dan Lindungi Lingkungan Sendiri (Kenduri) di Sesat Agung Bumi Gayo Ragem Sai Mangi Wawai, Tulangbawang Barat, Kamis (23/11).
Dalam acara yang digelar oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Lampung ini, Nur Wahid mengatakan strategi radikalisme dan terorisme (neo-kolonialisme) saat ini di antaranya memanipulasi, mendistorsi, mempolitisasi agama.
Menghilangkan, menyesatkan, membiaskan sejarah bangsa. Menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa. Membangun kebencian dan ketidakpercayaan masyarakat, serta permusuhan terhadap negara, pemerintah, dan pemimpin bangsa.
Kemudian memecah belah diantara anak bangsa melalui isu-isu sara dan lainnya.
Kewaspadaan terhadap kelompok Neo Khawarij sangat penting dilakukan, karena kelompok ini yang menyimpang dari akidah agama dan keluar dari kesepakatan bernegara.
Kelompok ini memiliki ciri-ciri biasanya ritualitasnya kuat namun akidahnya kurang. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai kelompok radikal.
"Jika telah terkena virus ideologi radikal, maka tidak memandang apakah dia professor, insinyur dan kalangan manapun, serta dapat menyerang ke siapa saja,"katanya di hadapan peserta Kenduri Sejak pagi hingga sore hari kemarin.
Mengidentifikasi teroris lanjutnya, tidak bisa dilihat dari penampilannya, namun harus melihat akhlak dari seseorang tersebut.
Sebab biasanya, orang yang telah terpapar seringkali mengeklusifkan diri dan bersifat intoleran.
Rata-rata para radikalisme itu rajin ritualitasnya karena ada juga yang hafal alquran hingga 30 juz. "Namun mereka malah membunuh sesama, mereka tidak ada kaidahnya, membidaah kan orang lain, mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai kaidahnya dalam pandangan mereka," terang pria yang juga mantan Kepala Densus 88 Yogyakarta tersebut.
Adapun indikator utama radikalisme adalah kesombongan dalam beragama serta merasa paling mengerti agama dan merasa paling benar.
Di sisi lain, menjelang Pemilu di Tahun 2024 mendatang, masyarakat harus dapat mewaspadai adanya politisai politik dari kelompok-kelompok intoleran.