”Hal itu menunjukkan bahwa kualitas pengawasan masih bermasalah. Artinya dewan pengawas yang mewakili owner yaitu Kemenkeu juga dianggap kurang kompeten dalam bekerja,” tambah Toto Pranoto.
Atas dasar itu, Toto menekankan agar integrasi pengelolaan BUMN di bawah satu atap harus menjadi prioritas yang harus dikerjakan.
”Ada banyak manfaat. Pertama, koordinasi untuk mendapatkan sinergi yang optimal agar dijalankan dengan lebih baik. Kedua, pola pembinaan dan pengawasan BUMN bisa dalam satu SOP sehingga penilaian dan monitoring kinerja bisa lebih terkelola dengan baik,” jelas Toto Pranoto.
Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso menyatakan, memburuknya kualitas kredit di lembaga yang dipimpin terjadi sebelum 2018.
”Penyebabnya sebagian besar pemberian kredit merupakan over financing,” kata Riyani di Komisi XI DPR RI, Senin (1/7).
Menurut dia, selain pemberian kredit yang menyalahi kemampuan debitur, LPEI juga tidak memiliki infrastruktur maupun sistem yang memberi peringatan dini akan kualitas kredit debitur. Termasuk tidak adanya unit yang khusus menangani kredit macet.
Dia menjelaskan atas kondisi itu, kualitas kredit Indonesia Eximbank mengalami pemburukan. Perinciannya, pada 2018 kredit yang diberikan mencapai Rp 108,9 triliun namun kredit macet alias NPL sebesar Rp14,9 triliun. Selanjutnya, pada 2019 meningkat menjadi NPL Rp22,9 triliun sedangkan kredit yang diberikan Rp97,8 triliun.
Pada 2020, kondisinya makin sulit dengan kredit Rp90,4 triliun dan NPL Rp23,6 triliun. Periode 2021, nilai kredit tersisa Rp84 triliun serta NPL Rp17,7 triliun. Sedangkan pada 2022, kredit yang diberikan Rp83,4 triliun dan NPL mencapai Rp22,3 triliun. Puncaknya pada 2023, NPL Gross mencapai 43,5 persen dengan rincian kredit yang diberikan Rp73,8 triliun dengan NPL Rp32,1 triliun. (jpc)