“Apa kau lupa? Hari ini hari ulang tahun Losmen.Bagaimanapun kita harus bersiapuntuk acara malam ini.” Balas Laskar sedikit ketus. Aku tak menghiraukan perkataannya,melenyapkan diri dari hadapannya lalu berkata,
“Tidak akan ada yang datang juga, semuanya sudah berbeda.”
Memang benar bahwa semuanya sudah berbeda.Aku mungkin menjelma menjadi gadis angkuh ketika tadi berbicara pada Laskar.
“Inilah kenyataannya, tidak mungkin ada lagi yang datang ke Losmen yang sudah tidak terurus ini.” Gumamku dalam hati.
“Semuanya juga berubah gara-gara kau!”Aku yang hendak meninggalkan Laskar seketika tersentak, “Gara-gara aku?”
“Kau lebih memilih meninggalkan Losmen sepanjang waktu, menghabiskan waktu bersama teman-temanmu. Kau benar-benar melepas tanggung jawabmu di Losmen ini.” Ujarnya. Aku terdiam dibungkam kata-kata. Laskar menghela nafas,
“Jika Eyang masih hidup, aku yakin sekali Losman ini menjadi persinggahan ternyaman.” Ujarnya lagi.
Aku tak memedulikan perkataan Laskar, meninggalkan dirinya yang masih berdiri di Selasar Losmen. Aku tak mampu membalas perkataannya, yang ia ucapkan memang sepenuhnya benar. Aku memang lebih sering menghabiskan waktuku bersama dengan teman-temanku, pulang terkadang larut sehingga aku selalu melupakan kewajibanku untuk mengurus Losmen. Kusadari aku terlalu tenggelam dalam gundah sehingga lupa naik ke daratan.
Ingatanku melayang tertiup hembusan angin yang menjanjikan hujan sore ini. Membuka satu memori pada soremerah yang merekah di ujung langit.Mengingatkanku pada suatu waktu, waktu dada ini masih terasa lapang.
“Eyang sudah berumur tujuh puluh tahun, seharusnya sudah menikmati masa tua. Tidak perlu khawatir, aku, Laskar, dan Bibi Ann yangakan mengurus tamu di Losmen ini.” Ucapku kala itu.
Eyang Putri membalas dengan tatapan belas kasih, membelai punggungku yang dingin akibat ditujah cuaca.
“Aku tidak pernah keberatan sama sekali, lagipula mengobrol dengan tamu membuatku merasa lebih baik. Ya, hitung-hitung menggusur rasa sepi.” Ucapnya sembari menciduk kuah soto yang akan dihidangkan pada perayaan malam itu.
“Bagaimana mau merasa sepi, Eyang saja selalu asyik mendongengi anak-anak jalanan itu.” Ujarku. “Losmen ini adalah tempat berbagi sukacita.” Eyang Putri menimpali dengan logat khasnya.
Kabut bahkan segan menyelimuti mentari yang merekah dalam senyumnya. Selalu saja ada seribu satu cara untuk membuat diriku takjub pada sosok tua yang tangguh itu. Jiwanya seluas samudera, membiarkan anak-anak jalanan duduk di halamanLosmen untuk sekadar memberi dongeng di sore hari, atau mengajak anak-anak jalanan mengikuti kelas lukis. Tidak lupa Eyang Putri selalu mengajak serta Ibu Hilda, kawan eratyang pandai melukis.
Malam itulebih pekat dari malam-malam sebelumnya. Hujan datang mengetuk jendela, meninggalkan bercak-bercak air di setiap sudutnya. Tepat pada malam itu perayaan ulang tahun Losmen. Kami sudah mempersiapkan hidangan terbaik sambi menunggu tamu-tamu undangan yang sesaat lagi kuyakin akan datang.
Mereka sudah menunggu di muka pintu, jemarinya enggan mengetuk, kepalanya tertunduk. Empat anak jalanan dengan tubuh kurus itu basah kuyup diterkam rintik hujan. Ya, mereka memang tamu undangan pada malam itu. Anak-anak jalanan yang kerap datang ke Losmen setiap senja untuk mendengar dongeng yang diceritakan Eyang Putri.