Karya : Regista Adzra Siswi SMA Negeri 3 Bandar Lampung
Alunan musik tenggelam dalam sudut nostalgia, menghanyutkan setiap jiwa yang termangu di bawah langit jingga yang merona. Sudah hampir dua belas bulan sejak kepergian Eyang Putri.Musik jazzyang dahulu selalu Eyang Putri putarkan setiap petang, kini denyutnya kembali menyapa rerumputan.
“Ah, sudah lama sekali kesunyian menyelimuti Losmen ini.” Wanita paruh bayaitu mengarahkan jemarinya memeluk secangkir teh hangat. Uapnya mengepul di udara, terbang bersama memori yang memanggil-manggilnya dari hari lalu. Aku tahu betul itu adalah IbuHilda, kawan erat Eyang Putri.
Ibu Hilda sering datang ke Losmen ini. Umurnya yang sudah di tepi telaga kehidupan itu terkadang membuatnya lupa bahwa Eyang Putri sudah berpulang. Terkadang ia melamun lalu menangis dalam sepi, harus menerima kenyataan bahwa telah kehilangan sosok perempuan tua yang mengajaknya berteduh dibawah langit jingga merona.
Sama seperti Ibu Hilda, mungkin aku sedikit merindukan musik jazz ditemani oleh sepotong senja yang enggan mengucap selamat tinggal. Aku merindukan kehadiran sosok perempuan tua yang tidak pernah ada habisnya untuk membicarakan musik-musik jazz, meski aku tahu sosok itu tidak akan pernahlagi membelai halus punggungku seperti kemarin kala itu.
Juwita Asmara, itu nama kesayangan Eyang Putri. Namaku. Aku sosok gadis yang dahulu senyumnya kerap menyapa setiap raga yang terpandang di depan mata.Aku sosok gadis yang selalu mengekor di balik punggung perempuan tua. Akulah sosok gadis yang kini merana diterkam gundah gulana.
Kehilangan Eyang Putri bukanlah suatu hal yang mudah dilupakan dalam benakku. Losmen yang kemarin hangatnya menyapa mentari pagi kini sunyi membisu. Sudah berbulan-bulan Losmen ini tidak terurus dengan baik.Aku dan Laskar adikku, yang dulu kerap mengurus Losmen ini, kini mati angin.Semenjak kepergian Eyang Putri, Losmen ini perlahan-lahan sepi pengunjung. Bermula darirerumputan liar yang tumbuh berserakan, sedikit demi sedikit cat di tembok-tembok mulai mengelupas, disusul atap-atap yang bocor di beberapa sisi membuat kami menerima ratingburuk.
Satu pekan yang lalu datang seorang pengunjungke Losmen ini. “Permisi, saya ingin memesan beberapa kamar di Losmen ini.” Ujar seorang lelaki tambun kepadaku.
“Iya silakan, Bapak ingin memesan kamar untuk berapa orang?.” Ujarku menyambutnya.
“Saya ingin melihat-lihat dulu boleh Mbak?” Ujarnya perlahan.
“Boleh Pak. Losmen ini ada 33 Kamar. Mari saya antar Bapak untuk melihat-lihat Losmen.” Ujarku berusaha ramah.
Aku dan seorang lelaki tambun itu berjalan bersamaan di Selasar untuk melihat-lihat Losmen. Aku tidak percaya diri, halaman dan Selasar di kelilingi rerumputan liar. Kuakui, Aku dan Laskar keteteran mengurus Losmen ini. Sangat jauh berbeda saat Eyang Putri masih bersama kami. Eyang Putri yang perfeksionistidak akan membiarkan rerumputan liar tumbuh di sekiar Losmen ini. Apalagi di sore hari anak-anak jalanan kesayangan Eyang Putri kerap datang untuk sekadar bersenda gurau sambi mencabuti rerumputan liar atau mendempul tembok yang usang.
“Maaf Mbak, nanti saya akan menghubungi kontak Losmen ini ya, jadi atau tidaknya saya memesan kamar.” Ujar lelaki tambun itu mengagetkanku. Entah sudah berapa orang pengunjung yang datang hanya untuk sekadar melihat-lihat Losmen namun tetap saja lepas dari genggaman.
SelasarLosmen ini lengang, hanya terdengar suara angin yang memanggil-manggil malam dan suara derap langkahku yang melaju terlalu cepat. Tak menghiraukan sosok lelaki yang derap langkahnya sama terburu-burunya denganku.
“Bibi Ann sudah menunggumu di dapur belakang.” Sosok lelaki itu menghentikan langkahnya tepat dihadapanku. Laskar, adik semata wayangku yang kini nafasnya terengah-engah. Aku menghela nafas kasar, “Aku harus pergi ke Pameran Seni sekarang.”