Dengan argumentasi normatif ushuli ini, tentu saja uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam mewujudkan maqashid syari’ah tersebut, sesuai dengan hadit dari Ibnu Umar RA: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah, dan Rasul bersabda: cukupilah kebutuhan mereka hari ini!" (HR. Daruquthni).
Dalam riwayat Imam Baihaqi: “Cukupilah kebutuhan mereka! Sehingga tidak perlu meminta-minta hari ini.”
Standar berat dan nominal yang ditetapkan oleh Madzhab Hanafiyah adalah Qimatul Manshush (nilai nominal harga bahan makanan pokok yang ada dalam teks hadits), berarti harga nominal dari satu sha’ kurma atau gandum, atau kismis atau keju ditambah lagi dengan konversi 1 sha’ atau 4 mud adalah 3,8 Kg.
Hal ini, bagi sebagian masyarakat muslim Indonesia cukup memberatkan. Jalan tengahnya adalah menggunakan standar nominal harga dari bahan makanan pokok menurut Madzhab Syafi’iyah di Indonesia.
Yakni, nominal harga dari 2,5 Kg beras. Hari ini di Kota Bandar Lampung beras dengan kualitas premium berada pada kisaran harga Rp18.000 per kg. Sedangkan, beras dengan kualitas medium berada pada kisaran harga Rp15.000 per kg. Jadi opsinya adalah Rp45.000 (premium) atau Rp37.500 (medium). Tentu sesuai dengan kebiasaan konsumsi muzakki dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari jumlah tersebut, tentu lebih baik.
Perpaduan pendapat hukum diperbolehkan sepanjang formulasinya tidak bertentangan dengan substansi ijmak.
Besaran pembayaran zakat fitrah dengan uang, yaitu Rp45.000 atau Rp37.500 mendasarkan diri pada argumentasi normatif bahan makanan pokok (qutul balad) Madzhab Syafi’iyah di Indonesia, yakni 2,5 Kg beras, lalu dikonversi dengan uang.
Hal ini mendasarkan argumentasinya pada qaul Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Qosim dari Madzhab Malikiyah. Semua itu, sudah sesuai dengan tujuan diterapkannya kewajiban zakat fitrah, yaitu dalam rangka mencukupi kebutuhan mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat), dengan skala prioritas adalah fakir dan miskin. Uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam memenuhi kebutuhan tersebut. (*)