“Terima kasih, Tian.” Aku mengembuskan napas dengan kuat, lantas kembali mengambil pijakan selanjutnya.
“Semangat, Mike! Aku tahu kamu bisa melakukan ini!” Tian berseru penuh semangat saat kami nyaris menyentuh ujung bendera. Hanya tinggal satu meter lagi jarak kami dengan bendera dan itu cukup membuktikan ke juri bahwa saat ini kami adalah pemenangnya.
“Yeaaaahhhhh!”
Aku dan Tian berseru penuh ceria saat kami akhirnya berhasil menyentuh bendera tersebut. Kami melompat kegirangan di puncak, lalu merebahkan diri kami di atas hamparan rerumputan hijau sambil melihat ke langit. Saat itu hari telah memasuki senja dan warna bronze cemerlang terlihat memenuhi seluruh cakrawala, mengiringi sang bola berapi tumbang di kaki barat.
“Kamu tahu, Tian, apa yang membuatku benar-benar mencintai panjat tebing?” Aku menatap Tian yang tengah duduk di sampungku, tersenyum kecil.
Tian balik menatapku dengan dalam, “Apa itu?”
“Karena setiap kali sampai di puncak, aku bisa melihat hamparan langit lebih dekat daripada manusia lain. Aku bisa berdiri di atas puncak dengan tenang, merasakan semilir angin yang berembus segar tanpa polusi, melihat pemandangan kerlip lampu kota yang terlihat begitu kecil layaknya bintang gemintang, dan….” Aku terdiam, sejenak mendongakkan kepalaku ke atas, menatap hamparan langit sore hari yang berwarna bronze cemerang.
“Warna langit itu, seperti warna mata ibuku. Bronze cermerlang, hangat, dan elegan, menyimbolkan semangat keberanian yang selalu berpendar di matanya. Setiap memandangi langit senja dari ketinggian seperti ini, aku selalu merasa memandangi mata ibuku, dan merasa bahwa dia ada di dekatku, ikut memandangiku, dan tersenyum seperti sebelum ia meninggal.” Aku melanjutkan dan tanpa kusadari, setetes air mata jatuh membasahi kaus biruku, membuat bercak di sana.
“Karena itulah, cintaku terhadap panjat tebing sama dengan cintaku kepada ibuku.”
***