Raisya Ramandha Putri-SMAQ Darul Fattah
“Aku...aku tidak bisa melanjutkan ini!” Aku memekik, berusaha mencengkeram bebatuan tebing dengan kekuatan penuh. Ujung-ujung jemariku terlihat memutih. Rasa kebas terasa mulai menyelimuti kedua tulang betisku dan membuat kondisi tubuhku jadi semakin tak karuan. Butiran-butiran kristal itu terlihat mulai menggenang di kedua kantung mataku. Di sekitarku jadi terlihat buram, bahkan aku tidak bisa lagi melihat telapak tanganku sendiri. Cukup dengan mengedipkan mataku sedikit saja, maka butiran kristal itu akan meluncur jatuh, terjun menuruni belahan wajahku dan membasahi kaus biruku.
“Mike! Sadarlah! Tinggal sedikit lagi! Puncaknya sudah dekat!” Wajah Tian terlihat memerah, benar-benar khawatir akan kondisiku. Telunjuknya menuding sudut di atas kami, tempat ditancapkannya sebuah bendera berwarna merah, tanda garis finish. Tempat itu hanya berjarak sekitar sepuluh meter di atas posisi kami sekarang.
“Tidak...tidak...aku tidak bisa!” Aku tetap menggeleng.
“Bangunlah dari mimpi itu, Mike! Apakah sekarang kamu sudah melupakannya? Alasanmu mencintai panjat tebing, alasanmu mencintai hamparan langit, dan alasanmu menyukai warna bronze!”
Aku terdiam sejenak, menatap Tian dengan dalam.
“Tebing...langit...bronze...Ibu…”
***
“Kamu tahu, Mike, apa yang membuat ibu benar-benar mencintai panjat tebing?” Wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan itu terlihat menatapku dengan dalam. Mata bronze indahnya terlihat berkilat mengesankan, berpendar diterpa cahaya hangat matahari siang musim semi yang menyejukkan. Rambut panjangnya yang dikuncir rapi terlihat melambai indah, menari riang mengikuti irama alam.
Aku menatap ibuku dengan dalam, “Apa itu?”
“Karena setiap kali ibu sampai di puncak, ibu bisa melihat hamparan langit lebih dekat daripada manusia lain. Ibu bisa berdiri di atas puncak dengan tenang, merasakan semilir angin yang berembus segar tanpa polusi, melihat pemandangan kerlip lampu kota yang terlihat begitu kecil layaknya bintang gemintang, dan...” Tiba-tiba saja ibuku terdiam. Ia terlihat mendongakkan kepalanya.
Aku ikut mendongakkan kepalaku, menatap ke arah yang sama dengan ibu.
“Warna langit malam hari, seperti warna mata ayahmu. Biru gelap, dalam, dan dingin, tetapi menyimpan sejuta misteri dan kehangatan di dalamnya. Karena itulah, cinta ibu terhadap panjat tebing sama dengan cinta ibu kepada ayahmu.” Ibuku menundukkan kepala, menyeka air mata yang membasahi pipinya. Pundak kuatnya terlihat bergetar. Dengan susah payah ia menyembunyikan kelemahan terbesarnya dariku.
Aku mengelus punggung ibuku dengan lembut, berusaha menenangkannya.