Pengamat Hukum Soroti Putusan MA Potong Hukuman Setya Novanto: Tidak Jelas dan Mengada-ada

Kamis 03 Jul 2025 - 20:00 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA – Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengkritik keras putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi proyek E-KTP.
Menurutnya, pengurangan vonis tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. ’’Ini tidak jelas dasar pengurangannya, wajib dicurigai,” ujar Fickar kepada Disway.id, Kamis (3/7).
Fickar menilai, meski majelis Peninjauan Kembali (PK) memiliki kewenangan menilai fakta dan penerapan hukum, seharusnya ada pertimbangan yang logis dan transparan. “Majelis PK juga mengakui Setya Novanto bersalah. Jadi pengurangan ini mengada-ada,” tegasnya.
Ia menilai, putusan tersebut mencoreng wajah peradilan, khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi. “Sikap seperti inilah yang bisa memberi angin kepada para koruptor. Mereka bisa berpikir bahwa dunia peradilan bisa diatur,” kata Fickar.
Di sisi lain, kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, justru menilai pengurangan hukuman itu masih belum cukup. Ia menilai kliennya seharusnya dibebaskan sepenuhnya.
“Menurut hemat saya, itu tidak cukup. Seharusnya bebas,” kata Maqdir. Ia menegaskan bahwa Setya Novanto tidak memiliki kewenangan terkait pengadaan proyek e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun.
“Setnov juga bukan bagian dari Komisi II DPR RI yang membidangi proyek e-KTP. Ia didakwa dengan pasal yang tidak tepat. Yang benar itu suap,” tambahnya.
Maqdir menyebut bahwa kliennya dianggap menerima uang, tetapi karena tidak memiliki jabatan yang berkaitan langsung dengan pengadaan proyek, semestinya hal itu dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap, bukan korupsi pengadaan barang dan jasa.
Sebelumnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan Setya Novanto atas kasus korupsi e-KTP. Putusan PK Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 itu diputuskan pada 4 Juni 2025 oleh majelis hakim yang terdiri dari Ketua Majelis Surya Jaya dan dua anggota hakim, Sinintha Yuliansih Sibarani serta Sigid Triyono.
Dalam putusannya, MA memutuskan hukuman penjara selama 12 tahun 6 bulan, serta menetapkan uang pengganti sebesar USD7,3 juta. Dari jumlah itu, dipotong Rp5 miliar yang telah dititipkan Setya Novanto kepada penyidik KPK.
Sisa uang pengganti sebesar Rp49 miliar diganti dengan hukuman subsidair dua tahun penjara apabila tidak dibayar. MA juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 2 tahun 6 bulan setelah masa pidana berakhir.
Putusan ini memicu sorotan luas dari publik karena dinilai melemahkan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) kembali jadi sorotan publik setelah mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.
Dalam putusan tersebut, MA memangkas hukuman Setnov dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara dalam kasus mega korupsi proyek e-KTP.
Putusan ini memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Banyak pihak menilai keputusan tersebut mencederai rasa keadilan, khususnya bagi masyarakat sebagai korban kejahatan korupsi.
Pegiat antikorupsi Tibiko Zabar dengan tegas menyayangkan keputusan tersebut.
Ia menyebut pengurangan hukuman terhadap Setnov sangat mengecewakan.
“Vonis MA atas upaya Peninjauan Kembali (PK) Setya Novanto, mantan Ketua DPR sungguh sangat mengecewakan dan mencederai rasa keadilan masyarakat korban korupsi. Ibarat petir di siang bolong, tak sampai 1 bulan untuk keduakalinya hukuman bagi koruptor yang seharusnya diperberat malah kini semakin diperikan,” ujar Tibiko saat dikonfirmasi, Kamis 3 Juli 2025.
Ia juga menegaskan bahwa kasus e-KTP yang menjerat Setnov bukan perkara ringan, melainkan masuk dalam kategori mega korupsi.
“Padahal, perjalanannya perkara yang menjerat Setya Novanto bukanlah kasus kecil, korupsi KTP-El kala itu masuk sebagai kejahatan rasuah atau mega korupsi karena nilai kerugiannya mencapai Rp 2,3 triliun dan berdampak pada sejumlah aspek layanan publik yang bergantung pada penggunaan KTP El,” tegasnya. (disway/c1/abd)

Tags :
Kategori :

Terkait