Ia menambahkan, gorden yang menjadi satu-satunya penutup tidak efektif melindungi privasi pasien. Bahkan jika terbuka sedikit saja, isi ruang langsung terlihat dari luar IGD.
Hal senada diungkapkan Yanti, salah satu keluarga pasien lain. Ia mengaku terganggu dengan keberadaan sejumlah mahasiswa magang yang mondar-mandir di dalam ruangan.
“Banyak mahasiswa bawa buku bolak-balik di IGD, kesannya kayak ruang kelas, padahal ini tempat pasien yang butuh istirahat. Mereka mestinya dikasih pengarahan juga,” ujarnya.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak RSUDAM, termasuk dari Kepala IGD.
Ketika hendak dikonfirmasi, petugas keamanan menyatakan bahwa untuk bertemu pejabat rumah sakit, wartawan harus membuat janji terlebih dahulu. “Gak bisa langsung, harus bawa form pengantar dan buat janji dulu. Kepala IGD juga jarang di tempat,” ungkap salah satu petugas.
Rentetan keluhan ini mengindikasikan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem layanan RSUDAM, baik dari segi sumber daya manusia, manajemen antrean, hingga kelayakan fasilitas. Warga berharap pemerintah provinsi tak menutup mata terhadap persoalan ini.
“Kalau RSUDAM ini mau jadi rujukan utama di Lampung, ya pelayanannya juga harus utama. Jangan sampai orang yang datang untuk sembuh malah makin stres,” pungkas Imam.
Sementara, Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Lampung masih menyimpan pekerjaan rumah besar, salah satunya pembangunan Gedung Kedokteran Nuklir yang mangkrak.
Proyek vital senilai Rp8,3 miliar yang ditargetkan menopang layanan kanker dan alat kedokteran nuklir itu tersendat dan kini berstatus pemutusan kontrak.
Ya, Gedung Nuklir RSUDAM yang ditargetkan rampung pada akhir 2024 lalu, hingga kini belum menunjukkan kemajuan berarti. Bahkan pihak rumah sakit telah memutus kontrak dengan rekanan, PT Putra Parma, yang sebelumnya memenangkan tender pada Agustus 2024.
Proyek ini bukan sekadar bangunan, tetapi simbol arah kebijakan kesehatan Pemprov Lampung. Mangkraknya gedung nuklir, mengindikasikan lemahnya perencanaan dan pengawasan dalam eksekusi proyek strategis.
Penambahan waktu kontrak dengan penalti 1 permil dari nilai kontrak, ternyata tidak cukup untuk mendorong penyelesaian. Bahkan perubahan teknis dalam aturan jarak radiasi oleh BAPETEN dijadikan salah satu alasan molornya pekerjaan, tanpa penjelasan bagaimana mitigasinya dilakukan sejak awal.
Konsekuensinya, selain kerugian anggaran dan waktu, RSUDAM terancam gagal menjadi rumah sakit pengampu nasional kanker secara utuh karena infrastruktur pendukung tak kunjung siap.
“Ya benar, bangunan belum selesai. Sudah dilakukan pemutusan kontrak,” ujar Sabariah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek gedung nuklir RSUDAM, saat dikonfirmasi Kamis (15/5/2025).
Sabariah menjelaskan, proyek yang telah mencapai 76 persen ini diberikan tambahan waktu 50 hari kerja dari 31 Desember 2024, namun tetap gagal diselesaikan. Kini, sisa pengerjaan direncanakan akan ditender ulang.
Padahal, keberadaan gedung nuklir ini sangat krusial untuk menunjang operasional alat kedokteran nuklir yang akan datang dari pemerintah pusat.