Pendidikan karakter harus dirancang tidak hanya melalui pelajaran PPKn atau upacara bendera, tetapi terintegrasi dalam seluruh aktivitas belajar. Guru, lingkungan sekolah, dan keluarga harus menjadi teladan nyata nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, empati, kerja keras, dan gotong royong.
Guru tetap menjadi aktor kunci dalam transformasi pendidikan. Tidak ada teknologi yang bisa menggantikan kehadiran guru sebagai fasilitator, pembimbing, inspirator, dan penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam proses belajar.
Namun, peran guru kini berubah. Di era informasi, guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Informasi tersedia melimpah. Tugas guru adalah membantu siswa memilah, memahami, menganalisis, dan menerapkan informasi tersebut dengan bijaksana. Guru harus menjadi "coach" yang memberdayakan, bukan "lecturer" yang sekadar menyampaikan.
Transformasi ini menuntut guru menguasai pedagogi abad ke-21: pembelajaran berbasis proyek, kolaboratif, kreatif, berpikir kritis, dan adaptif terhadap teknologi.
Agar mampu menjalankan peran barunya, guru membutuhkan program pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional development). Ini bukan sekadar pelatihan formal sekali-sekali, tetapi sistem dukungan yang terus-menerus melalui komunitas belajar, mentoring, penelitian tindakan kelas, dan refleksi profesional.
Pemerintah harus memastikan bahwa program ini dirancang berbasis kebutuhan nyata guru di lapangan, kontekstual dengan tantangan lokal, dan berorientasi pada peningkatan hasil belajar siswa, bukan sekadar administrasi.
Di sisi lain, teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperluas akses guru terhadap sumber-sumber pembelajaran profesional. Platform seperti Guru Belajar dan Berbagi, webinar pendidikan, dan komunitas virtual bisa menjadi sarana inovatif pengembangan guru.
Tidak akan ada pendidikan bermutu tanpa guru bermutu. Karenanya, penghargaan terhadap profesi guru harus menjadi prioritas nasional. Penghargaan ini bukan hanya dalam bentuk material (gaji, tunjangan, fasilitas), tetapi juga dalam bentuk pengakuan sosial, perlindungan hukum, dan penguatan profesionalisme.
Menjadikan profesi guru sebagai profesi bergengsi seperti di Finlandia, Singapura, atau Jepang, adalah langkah strategis. Di negara-negara itu, menjadi guru adalah pilihan karier yang prestisius, melalui seleksi ketat dan pelatihan intensif. Indonesia harus mengarah ke model serupa jika ingin memajukan pendidikannya.
Pendidikan harus menjadi hak setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali. Inklusi pendidikan bukan hanya tentang anak-anak penyandang disabilitas, melainkan juga tentang memberikan akses yang setara kepada semua kelompok yang selama ini terpinggirkan: anak-anak di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), anak-anak dari keluarga miskin, komunitas adat, dan kelompok minoritas lainnya.
Pendidikan inklusif berarti mengenali keberagaman sebagai kekuatan, bukan hambatan. Setiap anak berhak mendapatkan lingkungan belajar yang mendukung potensinya, menghargai perbedaan, dan menumbuhkan rasa percaya diri. Ini membutuhkan pelatihan guru dalam pendekatan pembelajaran diferensiatif, kurikulum fleksibel, serta sarana dan prasarana yang aksesibel.
Program afirmatif perlu diperkuat. Misalnya, melalui beasiswa, penyediaan transportasi sekolah gratis, pembangunan sekolah di daerah terpencil, serta pemberdayaan komunitas lokal sebagai mitra pendidikan. Negara harus hadir secara aktif untuk memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal.
Membangun ekosistem pendidikan yang kuat tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Dunia usaha, organisasi masyarakat sipil, media, dan individu harus terlibat.
Dunia industri bisa membantu mengembangkan kurikulum berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Lembaga sosial bisa memperluas jangkauan layanan pendidikan ke komunitas yang terpinggirkan. Media bisa menjadi saluran untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bermutu.
Kolaborasi ini harus berbasis prinsip kesetaraan, saling memperkuat, dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak-anak. Pendidikan tidak boleh dikomersialisasikan semata-mata, tetapi harus tetap menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar.
Dalam ekosistem pendidikan masa depan, teknologi memiliki peran penting, tetapi ia harus diposisikan sebagai alat, bukan tujuan. Tujuan utama tetaplah pengembangan manusia seutuhnya: kreatif, kritis, empatik, inovatif, dan bermartabat.