Program "Merdeka Belajar" yang dicanangkan sejak 2019 menjadi tonggak penting transformasi pendidikan. Konsep ini menekankan pembelajaran yang lebih fleksibel, humanistik, berbasis minat dan bakat siswa, serta memberikan otonomi lebih besar kepada satuan pendidikan dan guru. Kurikulum Merdeka juga mendorong pembelajaran berbasis projek, literasi, numerasi, dan penguatan karakter.
Digitalisasi pendidikan pun mendapat momentum saat pandemi COVID-19 melanda. Meski awalnya bersifat darurat, penggunaan teknologi dalam pembelajaran kini menjadi bagian permanen dari sistem pendidikan.
Platform-platform seperti Rumah Belajar, Merdeka Mengajar, dan berbagai LMS (Learning Management System) lain berkembang pesat, membawa pendidikan lebih dekat ke berbagai pelosok.
Namun, capaian itu belum cukup. Pendidikan Indonesia masih dibayang-bayangi berbagai masalah laten yang menghambat kemajuannya. Ketimpangan kualitas pendidikan antara kota dan desa, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, masih sangat nyata. Akses ke pendidikan berkualitas masih menjadi hak istimewa bagi sebagian kecil masyarakat, sementara sebagian besar lainnya harus puas dengan fasilitas seadanya.
Fasilitas pendidikan pun masih menjadi masalah serius. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, yang kekurangan ruang kelas layak, laboratorium, perpustakaan, bahkan sanitasi dasar. Tanpa fasilitas yang memadai, sulit mengharapkan proses pembelajaran yang efektif dan inspiratif.
Selain itu, relevansi kurikulum dengan kebutuhan zaman sering dipertanyakan. Dunia kerja berubah cepat, namun kurikulum sering kali tertinggal. Akibatnya, lulusan pendidikan tidak selalu siap menghadapi tantangan dunia nyata, baik di dunia kerja maupun dalam kehidupan sosial.
Globalisasi dan revolusi digital telah mengubah wajah dunia. Kehadiran teknologi kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), big data, dan blockchain menuntut keterampilan baru yang belum sepenuhnya diakomodasi dalam sistem pendidikan kita. Sementara negara-negara lain bergerak cepat mengadopsi literasi digital, coding, kecakapan berpikir kritis, dan inovasi, kita masih bergelut dengan masalah dasar seperti buta huruf fungsional dan numerasi dasar.
Jika tidak cepat berbenah, pendidikan Indonesia berisiko mencetak generasi yang tidak siap berkompetisi di tingkat global. Padahal, bonus demografi yang dimiliki Indonesia dengan mayoritas penduduk usia produktif bisa menjadi berkah besar, atau justru berubah menjadi beban sosial, tergantung pada kualitas pendidikan yang diberikan hari ini.
Hardiknas 2025 adalah panggilan untuk mempercepat langkah reformasi pendidikan. Bukan sekadar perubahan administratif, tetapi perubahan paradigma: dari pendidikan yang mendikte menjadi pendidikan yang membebaskan; dari sistem yang seragam menjadi sistem yang menghargai keberagaman; dari pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif dan kreatif.
Salah satu tantangan terbesar dalam pendidikan saat ini adalah kesenjangan digital atau digital divide. Tidak semua anak Indonesia memiliki akses yang sama terhadap teknologi.
Di kota-kota besar, akses internet cepat, gawai canggih, dan sumber belajar online sudah menjadi bagian dari keseharian. Namun di banyak daerah, bahkan akses listrik pun masih menjadi kemewahan.
Anak-anak yang memiliki akses digital tumbuh dengan keterampilan abad ke-21: literasi digital, kreativitas, kolaborasi global. Sementara anak-anak yang tidak memiliki akses terjebak dalam pendidikan model lama, bahkan sering kali tertinggal dalam aspek-aspek dasar.
Mengatasi kesenjangan ini memerlukan investasi besar dalam infrastruktur, tetapi juga inovasi dalam pendekatan pembelajaran. Misalnya, penggunaan teknologi offline, radio, televisi pendidikan, hingga perpustakaan keliling berbasis digital bisa menjadi alternatif di daerah-daerah yang belum terjangkau internet.
Di era digital, literasi tidak lagi hanya tentang membaca, menulis, dan berhitung. Kini, diperlukan literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.
Ledakan informasi yang tidak terkendali—yang disebut "tsunami informasi"—membuat pendidikan karakter menjadi lebih penting dari sebelumnya. Anak-anak dan remaja dihadapkan pada begitu banyak nilai, ideologi, dan gaya hidup dari seluruh dunia hanya dalam genggaman tangan mereka.
Jika pendidikan karakter tidak diperkuat, anak-anak akan kehilangan kompas moral. Mereka akan mudah terombang-ambing oleh pengaruh negatif, konsumerisme berlebihan, radikalisme, hingga individualisme ekstrem.