Pekerja kontrak dan outsourcing sering kali bekerja dalam kondisi yang sama dengan pekerja tetap, namun tanpa jaminan masa depan.
Mereka menghadapi ketidakpastian perpanjangan kontrak, minimnya akses terhadap program jaminan sosial, serta keterbatasan dalam membangun karier. Ketimpangan ini menciptakan suasana kerja yang penuh ketidakpastian dan ketidakadilan.
Kebijakan dalam Omnibus Law semakin memperparah situasi ini. Dengan memperlonggar batasan penggunaan tenaga kerja kontrak dan memperluas sektor yang diperbolehkan menggunakan outsourcing, regulasi tersebut membuka ruang lebih lebar bagi eksploitasi pekerja. Alih-alih memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, negara justru tampak mengambil posisi sebagai fasilitator kepentingan kapital.
Perlindungan sosial bagi pekerja di Indonesia masih jauh dari ideal. Meskipun terdapat program jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kualitas layanan yang buruk, administrasi yang rumit, hingga rendahnya tingkat kepesertaan, terutama di sektor informal.
Banyak pekerja kontrak dan outsourcing tidak diikutkan dalam program jaminan sosial, atau jika diikutkan sekalipun, hanya secara formalitas tanpa pembayaran iuran yang memadai. Situasi ini menempatkan pekerja dalam posisi sangat rentan terhadap risiko kesehatan, kecelakaan kerja, dan masa tua tanpa jaminan.
Kegagalan negara dalam memperluas cakupan dan meningkatkan kualitas sistem perlindungan sosial mencerminkan kegagalan lebih besar dalam memandang pekerja sebagai warga negara penuh yang berhak atas keamanan sosial. Perlindungan sosial bukan sekadar kewajiban moral, melainkan mandat konstitusional yang wajib dipenuhi negara sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan ekonomi.
Hak pekerja untuk berserikat, berunding bersama, dan melakukan aksi kolektif merupakan hak fundamental yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional.
Namun dalam praktiknya, banyak perusahaan di Indonesia yang melakukan union busting — tindakan sistematis untuk melemahkan, menghalangi, atau membubarkan serikat pekerja.
Modus union busting beragam, mulai dari intimidasi, pemecatan aktivis serikat, hingga pembentukan serikat pekerja tandingan yang pro-manajemen. Negara, melalui aparat penegak hukum, sering kali tidak berpihak pada pekerja, bahkan dalam beberapa kasus terlibat langsung dalam represi terhadap aksi-aksi buruh.
Kriminalisasi terhadap buruh dan aktivis pekerja juga marak terjadi. Mereka yang memperjuangkan hak-haknya tidak jarang dikenakan pasal-pasal pidana seperti "mengganggu ketertiban umum" atau "penghasutan," yang aplikasinya sering kali sangat bias dan represif.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebebasan berserikat dan berpendapat di Indonesia, meskipun dijamin di atas kertas, belum sepenuhnya dihormati di lapangan. Tanpa kebebasan berserikat yang efektif, pekerja kehilangan alat utama mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif.
Gerakan buruh di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sebelum kemerdekaan. Pada awal abad ke-20, seiring dengan munculnya kesadaran nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme, gerakan buruh menjadi bagian integral dari perjuangan bangsa. Organisasi seperti Sarekat Islam, yang berdiri pada 1912, turut memperjuangkan hak-hak ekonomi rakyat, termasuk kaum pekerja.
Masa kolonial memperlihatkan bagaimana buruh menjadi kekuatan politik yang signifikan. Pendirian Perserikatan Komunis di Hindia pada 1920-an banyak melibatkan elemen buruh, dan pemogokan massal menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.
Pasca kemerdekaan, buruh tetap menjadi aktor penting dalam dinamika politik nasional, terutama melalui organisasi seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Namun, tragedi politik 1965 menjadi titik balik kelam bagi gerakan buruh. Dengan dibubarkannya SOBSI dan pembasmian kekuatan-kekuatan progresif, gerakan buruh di Indonesia lumpuh selama bertahun-tahun di bawah rezim Orde Baru.
Buruh dipaksa tunduk pada serikat pekerja tunggal yang dikendalikan negara, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), dan segala bentuk gerakan independen diberangus secara brutal.