Namun, realitas menunjukkan bahwa hak ini belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan pekerja, terutama mereka yang berada di sektor informal, pekerja migran, perempuan pekerja, serta buruh muda yang baru memasuki dunia kerja.
Dunia ketenagakerjaan saat ini tengah berada dalam pusaran perubahan besar. Di tingkat global, pandemi COVID-19 yang melanda pada tahun 2020 mempercepat transformasi cara bekerja, memperjelas kerentanan struktural yang selama ini tersembunyi.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat bahwa pada puncak pandemi, lebih dari 400 juta pekerjaan penuh waktu hilang di seluruh dunia. Indonesia sendiri tidak terlepas dari dampak ini: data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya peningkatan tingkat pengangguran terbuka menjadi 7,07% pada Agustus 2020, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Walaupun kondisi perlahan membaik seiring pemulihan ekonomi, ketidakpastian tetap membayangi. Tren pekerjaan tidak lagi sepenuhnya berbasis kontrak permanen, tetapi bergeser menuju model kerja fleksibel yang sering kali tidak memberikan jaminan keamanan kerja maupun hak-hak ketenagakerjaan yang memadai.
Di satu sisi, model ini memberi ruang fleksibilitas yang dihargai oleh sebagian pekerja muda; namun di sisi lain, ia menempatkan mayoritas pekerja dalam situasi rentan tanpa perlindungan sosial yang memadai.
Fenomena ini diperparah dengan ketidakmerataan akses terhadap kesempatan kerja yang layak. Ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta antara sektor formal dan informal, tetap menjadi masalah kronis. Sektor informal — yang mencakup lebih dari 59% dari total pekerja di Indonesia — kerap kali menjadi tempat "pelarian" bagi mereka yang tidak mampu mengakses sektor formal, dengan konsekuensi rendahnya pendapatan dan hampir nihilnya jaminan sosial.
Dalam diskursus ekonomi neoliberal, fleksibilitas pasar tenaga kerja sering dipromosikan sebagai kunci peningkatan daya saing nasional. Namun, narasi ini kerap melupakan fakta bahwa fleksibilitas tersebut sering kali berarti penghilangan hak-hak dasar buruh.
Sistem kerja kontrak jangka pendek, outsourcing, hingga kerja berbasis proyek (gig economy) menjadi instrumen utama yang digunakan untuk mereduksi tanggung jawab pengusaha terhadap pekerjanya.
Dalam praktiknya, fleksibilitas ini cenderung berubah menjadi bentuk eksploitasi modern. Pekerja tidak hanya harus menerima ketidakpastian atas masa depan mereka, tetapi juga harus bersaing dalam pasar kerja yang semakin padat dan menuntut multikompetensi.
Tanpa perlindungan sosial yang memadai, pekerja fleksibel ini menjadi kelompok paling rentan terhadap guncangan ekonomi, perubahan teknologi, maupun krisis kesehatan global.
Di Indonesia, fenomena ini makin nyata dengan adanya regulasi-regulasi yang dinilai memperlemah posisi tawar pekerja, seperti penghapusan batasan maksimal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam Omnibus Law.
Hal ini membuka ruang legalisasi terhadap praktek kerja tidak tetap dalam jangka panjang, yang secara esensial bertentangan dengan prinsip keamanan kerja yang telah lama diperjuangkan oleh gerakan buruh.
Revolusi Industri 4.0 — dengan otomatisasi, kecerdasan buatan, dan internet of things — menghadirkan perubahan struktural yang mendalam pada pasar tenaga kerja. Banyak pekerjaan manual, repetitif, dan berbasis keterampilan rendah kini digantikan oleh mesin dan algoritma. Sementara itu, pekerjaan baru yang muncul menuntut keterampilan tinggi dalam bidang teknologi, analisis data, dan inovasi kreatif.
Dalam konteks ini, pekerja yang tidak memiliki akses pada pendidikan bermutu dan pelatihan ulang (reskilling) berisiko besar terpinggirkan. Menurut World Economic Forum, hingga tahun 2025, sekitar 85 juta pekerjaan mungkin tergantikan oleh mesin, tetapi 97 juta jenis pekerjaan baru akan muncul.
Namun, transisi ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis atau adil; pekerja dari kalangan bawah yang paling minim akses ke pendidikan akan menjadi korban utama dari pergeseran ini.
Indonesia menghadapi tantangan besar di bidang ini. Kualitas pendidikan tenaga kerja yang rendah, disparitas akses antarwilayah, serta lambannya reformasi sistem pelatihan kerja menjadi batu sandungan serius dalam upaya menghadapi revolusi ini.