JAKARTA - Produktivitas sektor pertanian jauh lebih rendah dibandingkan sektor lain, terutama sektor industri pengolahan. Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan produktivitas sektor pertanian kira-kira hanya 1/6 dari produktivitas sektor pengolahan.
’’Walaupun sama-sama menjadi motor perekonomian Indonesia, produktivitas sektor pertanian jauh lebih rendah dibandingkan sektor industri pengolahan," kata Amalia saat memaparkan ’’Tantangan Sektor Pertanian’’ dalam kegiatan Diseminasi Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 Tahap 1, Senin (4/12).
Tantangan lainnya yaitu mayoritas pekerja di sektor pertanian berstatus tenaga kerja informal. Amalia menuturkan, peningkatan pekerja informal yang terlihat pascapandemi Covid-19 ternyata juga terjadi di sektor pertanian. Pada 2023, penduduk yang bekerja di sektor pertanian dengan status informal sebanyak 88,42 persen. Sejak 2013, proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian dengan status informal berada pada kisaran 88 persen.
"Tantangan berikutnya adalah rendahnya produktivitas di sektor pertanian, salah satunya dikontribusikan karena tenaga kerja pertanian mayoritas hanya menamatkan pendidikan paling tinggi Sekolah Dasar," imbuhnya.
Pada Februari 2023, sebanyak 74,89 persen tenaga kerja pertanian atau sekitar 30,48 juta orang hanya menamatkan pendidikan paling tinggi Sekolah Dasar. Sedangkan, sebanyak 15,44 persen tenaga kerja pertanian atau 6,28 juta orang adalah tamatan SMP.
Kemudian, sebanyak 8,89 persen atau 3,62 juta orang adalah tamatan SMA/SMK. Dan, hanya 1,82 persen atau sebanyak 700 ribuan orang merupakan lulusan Diploma ke atas. "Kalau kita lihat berdasarkan umur, sekitar 58 persen tenaga kerja pertanian berumur 45 tahun ke atas pada Februari 2023," katanya.
Itu terdiri dari 9,77 juta orang (24,02 persen) berumur 60 tahun ke atas, dan 13,83 juta orang (33,99 persen) di rentang 45-59 tahun. "Oleh sebab itu, ada tren bahwa pekerja di sektor pertanian cenderung menua, dan ini merupakan perhatian bersama bagaimana mendorong regenerasi pekerja di sektor pertanian," kata Amalia.
Tantangan berikutnya adalah upah riil buruh tani yang cenderung melemah. Amalia menjelaskan, jika melihat nominal memang terjadi peningkatan. Namun, peningkatan nominal ini tidak bisa menggambarkan secara persis mengenai tingkat kesejahteraan petani. Sementara itu, upah riil cenderung menurun. "Tantangan berikutnya adalah berdasarkan persentase penduduk miskin menurut wilayah, memang kemiskinan paling tinggi terjadi di perdesaan," lanjutnya.
BPS mencatat disparitas kemiskinan perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Pada Maret 2023 misalnya, dimana tingkat kemiskinan Indonesia di angka 9,36 persen, tingkat kemiskinan di perkotaan hanya 7,29 persen, namun tingkat kemiskinan di perdesaan menembus double digit yaitu mencapai 12,22 persen. "Dan, ada umumnya perdesaan ini pun perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian," ujar Amalia.
Contoh beberapa kabupaten/kota yang pertumbuhan ekonominya dikontribusikan dari sektor pertanian memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi. Nias Utara misalnya, tingkat kemiskinannya pada Maret 2023 mencapai 21,79 persen. "Ternyata 52,95 persen PDRB-nya bergantung kepada sektor pertanian," sambung Amalia.
Kemudian di Sampang dan Sumba Barat, tingkat kemiskinannya mencapai masing-masing 21,76 persen dan 27,17 persen. Padahal PDRB keduanya juga bergantung dari kontribusi sektor pertanian, yaitu 31,41 persen untuk Sampang dan 28,67 persen untuk Sumba Barat. (jpc/c1/nca)