JAKARTA – Indonesia resmi bergabung dengan BRICS, blok ekonomi yang dibentuk oleh negara-negara Brasil, Rusia, India, dan China, lalu Afrika Selatan.
Lalu, apa keuntungan secara ekonomi setelah Indonesia bergabung menjadi anggota penuh forum tersebut?
BRICS dibentuk sejak 2009, menjadi penyeimbang bagi Kelompok Tujuh (G7) juga simbol negara-negara berkembang yang diyakini akan mendominasi ekonomi dunia pada 2050 mendatang.
Bergabungnya Indonesia menjadi anggota BRICS diyakini akan membuka aliansi ini semakin berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dunia.
“Sebagai negara dengan perekonomian yang mengalami pertumbuhan dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat,” bunyi pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia di laman resminya.
Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios), dengan menjadi anggota BRICS, Indonesia bisa lepas dari ketergantungan kepada pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa, dan bisa membuka peluang pasar baru.
"Bergabung dengan BRICS, akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa lepas dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Eropa pun sebenarnya sudah mulai rese dengan kebijakan ekspor Indonesia dan sering terlibat perselisihan dalam hal perdagangan global," ungkap Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda dikutip dari Antara.
Eropa kini mulai menjegal perdagangan luar negeri Indonesia, salah satunya adalah melalui hambatan European Deforestation Regulation (EUDR) terhadap komoditas kelapa sawit.
Presiden Prabowo Subianto kemudian menunjukkan keberpihakan terhadap petani sawit dan mempertimbangkan untuk mencari pasar lain di luar Eropa.
Nailul menyebut, pada dasarnya gerakan diplomasi politik Indonesia adalah non blok, atau tidak terafiliasi ke BRICS atau OECD. Tetapi, pilihan koalisi politik dan ekonomi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.
Data menunjukkan, proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan tajam. Pada tahun 1990, proporsi ekonomi negara BRICS hanya 15,66 persen, sementara pada 2022, proporsinya mencapai 32 persen
BRICS saat ini punya banyak anggota termasuk Indonesia yang baru disahkan. BRICS juga baru saja menetapkan 13 negara baru sebagai mitra, sehingga membuka peluang pasar baru bagi Indonesia terutama untuk ekspor.
"Negara Timur Tengah sudah mulai masuk ke koalisi BRICS, hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk masuk ke pasar Timur Tengah. Jadi, sebenarnya keuntungan masuk BRICS cukup besar," kata Nailul.
Tetapi koalisi BRICS berisiko bentrokan kepentingan dengan Amerika Serikat, salah satunya terkait dengan fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi.
Nailul menilai akan ada potensi perang dagang kembali antara AS dan China ketika Donald Trump sudah resmi menjadi presiden AS.
"Ada potensi ekonomi global akan melambat dan ber-impact pada negara koalisi. Memang saya rasa pilihan masuk ke BRICS lebih rasional ke depan walaupun juga ada risikonya dengan negara-negara OECD dan negara blok barat," katanya.