JAKARTA – Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengungkapkan bahwa rencana Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada sekitar 44.000 narapidana harus dilaksanakan dengan penuh akuntabilitas dan transparansi.
’’ICJR mendukung langkah-langkah yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM). Namun, kami menekankan bahwa proses pemberian amnesti harus dilakukan secara akuntabel dan transparan,” kata Maidina dalam keterangan pers yang diterima ANTARA, Minggu (15/12).
Menurut Maidina, pemberian amnesti harus berbasis kebijakan yang dapat diakses oleh publik, agar masyarakat dapat menilai dan mengkritisi keputusan tersebut. Proses pemberian amnesti juga perlu dirumuskan dalam bentuk peraturan, setidaknya setara dengan peraturan menteri, untuk menjamin standardisasi dalam pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti.
“Penilaian harus berlandaskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan,” tambah Maidina.
ICJR mendukung pemberian amnesti kepada narapidana pengguna narkotika, terutama bagi mereka yang terjerat kasus narkoba untuk kepentingan pribadi. Maidina menyebutkan bahwa ICJR sudah lama mengusulkan agar pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan.
“Untuk menjamin keadilan, amnesti bagi pengguna narkotika harus didukung dengan pengesahan revisi Undang-Undang Narkotika yang mengatur dekriminalisasi pengguna narkotika,” ungkapnya.
Terkait amnesti bagi narapidana yang terjerat kasus penghinaan presiden, ICJR mengusulkan agar kriminalisasi penghinaan terhadap presiden dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru dihapuskan.
Mengenai narapidana yang akan diberikan amnesti karena sakit, Maidina mengingatkan pentingnya mempertimbangkan tindak pidana yang dilakukan oleh warga binaan tersebut. Mengingat pemberian amnesti mengarah pada penghapusan hukuman pidana, ICJR berpendapat bahwa jika narapidana terlibat dalam tindak pidana umum dengan korban yang teridentifikasi, seharusnya yang lebih tepat adalah grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana melalui amnesti.
Namun, Maidina juga menyoroti rencana pemerintah untuk memanfaatkan narapidana yang diberi amnesti sebagai tenaga kerja swasembada pangan dan komponen cadangan (komcad). ICJR menilai rencana ini berpotensi eksploitatif.
“Jika narapidana tersebut diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, hak atas upah pekerjaannya harus dibayarkan. Hal ini bahkan dapat dilakukan tanpa harus bergantung pada rencana amnesti,” tegas Maidina.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan pada Jumat (13/12). Salah satu topik yang dibahas adalah pemberian amnesti kepada narapidana tertentu.
Menurut data Kementerian Hukum dan HAM, sekitar 44.000 narapidana memenuhi kriteria untuk diusulkan mendapatkan amnesti. Namun, angka pastinya masih dalam proses asesmen dan akan dipertimbangkan oleh DPR.
Diketahui Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berencana memberikan amnesti kepada sejumlah narapidana, dengan pertimbangan hak asasi manusia (HAM) dan semangat rekonsiliasi. Keputusan ini juga terkait dengan upaya mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mengungkapkan bahwa narapidana yang akan menerima amnesti mencakup mereka yang ditahan terkait kasus politik, pelanggaran UU ITE, narapidana pengidap penyakit berkepanjangan dan gangguan jiwa, serta mereka yang mengidap HIV/AIDS dan memerlukan perawatan khusus. Selain itu, pengguna narkotika yang lebih cocok menjalani rehabilitasi juga akan menjadi sasaran amnesti.
“Terkait amnesti ini, salah satu pertimbangan utamanya adalah aspek kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi. Presiden memiliki perhatian pada aspek tersebut, yang mencerminkan keputusan politik yang humanis berdasarkan Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum dalam poin pertama Asta Cita,” kata Pigai dalam keterangan pers, Minggu (15/12).