BANDARLAMPUNG - ’’Mohon, Pak Hakim dan Bapak-Bapak semua. Tolong dengarkan dengan hati nurani. Bagaimana mungkin tanah negara seluas 4.560 hektare yang kami kelola tiba-tiba lepas dan diberikan kepada PT Bumi Madu Mandiri. Kami punya alas hak yang jelas dan punya sejarah yang terang soal kepemilikan ini. Bapak Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi. Tolong, gunakan hati nurani”. Kalimat itu diucapkan Sasmika Dwi Suryanto, Ketua Umum Serikat Pekerja PTPN VII (SPPN VII), dengan suara bergetar, Kamis (23/11) lalu.
Ratusan massa SPPN VII yang hadir di sudut kebun tebu PTPN VII Rayon Karta, Unit Bungamayang, itu seperti terhipnosis. Lima petugas dari Pengadilan Negeri (PN) Blambanganumpu yang dipimpin Muhammad Arief mendengarkan dengan tenang. Beberapa pejabat PTPN VII yang diarahkan Sekretaris Perusahaan Bambang Hartawan tampak menghela napas panjang. Perwakilan dari PT Bumi Madu Mandiri (BMM) yang dikomandoi Munawar Harun juga bergeming. Sementara puluhan polisi yang mengawal dalam kendali Kabagops Polres Waykanan Kompol Jono S. tampak sigap berjaga.
Drama itu terjadi saat tim dari PN Blambanganumpu melakukan konstatering (pencocokan lahan) terhadap objek perkara sengketa perdata antara PT Bumi Madu Mandiri yang menggugat PTPN VII. Lebih dari 50 polisi dengan dua truk personel mengawal kedatangan tim PN Blambanganumpu yang datang satu rombongan dengan tim dari PT BMM dan Kepala Kampung Kaliawi, Muhsin.
Sedangkan statemen Sasmika itu disampaikan sebagai penutup negosiasi Tim PN dengan kuasa hukum PTPN VII Satrya Aditama dan ratusan massa SPPN VII yang datang memberi dukungan.
Tentang statemen penuh emosi dari Ketua Umum SPPN VII, Sekretaris Perusahaan PTPN VII Bambang Hartawan mengaku sangat memahami. Ia mengatakan, SPPN VII sebagai wakil pekerja menjadi bagian dari korban kesewenang-wenangan hukum terhadap kasus perdata ini.
Pertimbangan ini pula yang menjadi alasan utama PTPN VII bersama PTPN III Holding sebagai induk perusahaan untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). “Sangat manusiawi, sangat kami pahami apa yang diucapkan Pak Sas (sapaan akrab Sasmika). Dia adalah salah satu staf PTPN VII yang tahu persis bagaimana peralihan hak lahan 4.560 hektare di Bunga Mayang ini ke PT BMM. Sebab, saat itu beliau menjadi staf pertanahan PTPN VII yang mengawal kasus ini. Jadi, wajar kalau dia sampai menangis menyesali hilangnya hak negara atas lahan tersebut,” kata Bambang.
Diketahui, lahan seluas 320 hektare yang menjadi objek perkara dan dilakukan konstatering itu adalah bagian dari lahan 4.560 yang sebelumnya milik PTPN VII. Lahan 4.560 hektare tersebut diperoleh oleh PTPN VII (sebelumnya PTPN XXXI) melalui proses legal untuk pengembangan lahan tebu PG Bunga Mayang pada 1984. Namun, saat menghangatnya era reformasi yang terbuka keran kebebasan, ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi untuk mengganggu keberadaan lahan ini.
Sebagai pemilik sah, PTPN VII melakukan perlawanan dengan menolak perpindahan hak lahan tersebut. Penolakan itu kemudian dibalas dengan gugatan PT BMM kepada PTPN VII secara bertahap. Terhadap gugatan terakhir (lahan 320 hektare) yang sudah berketetapan hukum (inkraach), SPPN VII sebagai pekerja di PTPN VII tak terima. Melalui serangkaian aksi massa, mereka menyatakan menolak upaya hukum lanjutan dari PN Blambanganumpu, mulai dari konstatering yang kemungkinan akan dilanjutkan dengan sita dan eksekusi.
Sasmika mengatakan, pihaknya dengan segala upaya akan melakukan perlawanan untuk menghentikan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam kasus ini. Tanpa mengabaikan norma-norma hukum, ia bersama massa yang ada akan menempuh semua jalur yang bisa kami lewati. “Kami mengais rezeki dari lahan ini. Kalau mereka selama ini selalu menemuka cara untuk merebut hak kami, maka kami juga akan terus mencari jalan. Kalau PK (peninjauan kembali) sebagai pintu terakhir tertutup, kami akan gunakan cara lain,” tandasnya. (rls/c1/nca)