DALAM upaya mengatasi dampak buruk limbah fesyen terhadap kondisi bumi, Ketua Harian Indonesian Fashion Chamber (IFC) Riri Rengganis berbagi informasi mengenai perbedaan antara fast fashion dan sustainable fashion.
Saat menghadiri acara Spotlight Indonesia 2023, Riri mengungkapkan bahwa pemahaman ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi masyarakat dalam memilih pakaian yang lebih ramah lingkungan.
“Di dunia ini, produk fesyen yang mendominasi berasal dari jenama fast fashion, atau produk yang dibuat dengan skala besar,” ujar Riri usai sesi konferensi pers di Jakarta sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (16/11).
Menurutnya, pakaian-pakaian fast fashion yang mendominasi pasar fesyen global, cenderung menggunakan bahan murah, terutama terlihat dari tingginya persentase penggunaan polyester yang sering tertera pada label pakaian.
Dampak dari pemilihan bahan murah ini termanifestasi dalam harga terjangkau dari pakaian fast fashion. Namun, pakaian ini sering kali hanya dipakai beberapa kali sesuai tren terkini sebelum dibuang, sehingga menciptakan masalah limbah fessyion yang merugikan lingkungan.
“Pakai dua sampai tiga kali, bosan, lalu dibuang. Ini yang namanya limbah fesyen,” ujarnya.
Riri menjelaskan bahwa pakaian dengan bahan plastik, polyester, serta turunannya akan sangat sulit untuk diurai oleh bumi. Hal inilah yang selanjutnya berdampak buruk pada lingkungan.
“Karena bahan dasarnya bukan bahan alam, itu pasti akan menjadi sampah yang menumpuk,” ucap dia.
Sebagai alternatif, pakaian sustainable fashion yang dibuat dari bahan-bahan ramah lingkungan seperti katun, linen, sutera, dan rayon, menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan. Kelebihan lainnya adalah masa pakai yang lebih panjang dan memberikan dampak positif terhadap lingkungan.
Bukan hanya bahan, sustainable fashion juga menonjolkan desain kreatif, unik, dan sering kali diproduksi secara handmade. Hal ini memberikan nilai tambah pada pakaian tersebut, sehingga pakaian sustainable fashion tidak hanya menjadi tren sesaat, melainkan investasi fesyen jangka panjang yang mendukung gaya hidup berkelanjutan.
“Jadi, pakaiannya akan bertahan lebih lama di lemari kita. Bisa dipakai berkali-kali, itu sustainable living,” ujar Riri.
Dengan memahami perbedaan antara fast fashion dan sustainable fashion, ucap Riri, masyarakat diharapkan dapat membuat pilihan yang lebih sadar dalam konsumsi pakaian.
Dia juga mengungkapkan, kesadaran ini menjadi langkah awal untuk mengurangi dampak industri fesyen terhadap lingkungan dan mendukung perkembangan gaya hidup berkelanjutan. (jpc/ful)
Kategori :