Bamsoet Soroti Money Politics Menggerogoti Demokrasi Indonesia

Bamsoet saat memberikan kuliah umum mengenai tantangan demokrasi dan pentingnya melawan praktik money politics. -FOTO JPNN -
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyebut praktik money politics masih menjadi masalah besar yang merusak proses demokrasi di Indonesia.
Hal itu disampaikan Bamsoet saat memberikan Kuliah Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan, secara daring di Jakarta, Kamis (12/6).
Bamsoet menyampaikan pemilu yang seharusnya mampu membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia dan menjadi instrumen penting demokrasi, malah dipertanyakan.
Banyak kalangan meragukan apakah Pemilu cukup mampu mengubah sistem atau malah membutuhkan revolusi untuk mencapai perbaikan yang lebih luas.
“Pemilu sering kali dijadikan ajang untuk praktik korupsi, di mana calon-calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Hal ini merusak integritas Pemilu dan membuat proses politik terasa tidak adil, terutama bagi mereka yang tidak punya akses ke uang atau kekuasaan,” ujar Bamsoet.
Ketua ke-15 MPR RI itu juga menjelaskan bahwa partisipasi yang inklusif dan adil merupakan pilar penting dari demokrasi yang sehat dan mampu bertahan.
“Ketika proses politik masih didominasi oleh praktik money politics, kelompok yang termarjinalkan, seperti perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin, akan kesulitan untuk turut ambil bagian dan menyampaikan aspirasi mereka,” katanya.
Bamsoet melanjutkan, masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemampuan untuk membuka ruang seluas mungkin bagi rakyat. “Ini bukan soal memberi kursi, tapi soal memberikan peluang dan kepemimpinan yang setara, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.”
Dosen tetap Pascasarjana Unhan tersebut juga menjabarkan tantangan yang tengah dihadapi, yaitu dominasi money politics. Berdasarkan data Indikator Politik Indonesia, 35 persen responden memilih berdasarkan imbalan uang, sebuah masalah yang turut melanggengkan proses yang tidak adil.
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian masyarakat malah memaklumi praktik tersebut sebagai sebuah budaya.
“Ini harus dibereskan. Di satu sisi, negara ingin proses demokrasi lebih inklusif, tapi di sisi lain malah melanggengkannya. Keadaan seperti inilah yang harus diberantas,” tegas Bamsoet.
Bamsoet juga menekankan bahwa solusi permasalahan tersebut tidak cukup bergantung pada regulasi, tetapi juga membutuhkan ekosistem politik yang sehat, komitmen elite, dan penguatan kapasitas masyarakat sipil.
Legislatif dan pemerintah harus mampu menyediakan ruang yang lebih luas dan adil bagi rakyat.
Misalnya, melalui forum aspirasi yang melibatkan kelompok difabel, organisasi kepemudaan, kelompok perempuan pedesaan, dan masyarakat adat.
Selain itu, juga penting untuk mendorong pendidikan politik yang lebih kreatif dan adaptif, agar generasi muda dan kelompok rentan lebih memahami proses dan instrumen demokrasi.
“Negara dan partai juga harus lebih serius menumbuhkan kepemimpinan dari kelompok marginal. Caranya, memberikan pelatihan kepemimpinan, membuka peluang karier yang lebih luas, dan menyediakan mentoring oleh para anggota legislatif senior,” katanya.
Bamsoet juga menekankan bahwa inklusi bukan hanya soal keadilan representasi, tetapi juga mengenai kualitas kebijakan yang dihasilkan. Semakin luas keterlibatan masyarakat, semakin besar peluang kebijakan yang lebih manusiawi dan sesuai kebutuhan rakyat.
Misalnya, keterlibatan perempuan di legislatif terbukti turut melahirkan kebijakan yang sensitif gender, seperti UU TPKS yang disahkan pada 2022, setelah proses advokasi yang melibatkan kelompok masyarakat sipil dan anggota legislatif perempuan.
Selain itu, kehadiran pemuda juga mulai memberikan nuansa baru mengenai digitalisasi pelayanan publik, keberlanjutan lingkungan, dan transparansi anggaran.
Bamsoet menyimpulkan, jika sistem politik masih terjebak pola transaksional yang korup, maka upaya perbaikan, reformasi pendanaan, transparansi, dan penegakan hukum terhadap praktik money politics harus diberlakukan.
“Tanpa itu, keberagaman calon hanya akan menjadi formalitas yang menutupi kenyataan bahwa akses kekuasaan masih ditentukan oleh uang dan koneksi, bukan oleh kompetensi dan representasi,” pungkasnya. (jpnn/c1/abd)