Filosofi Lampion Sebagai Simbol Kebahagiaan dan Harapan

FOTO-FOTO SUMEKS/DISWAY/PIXABAY Lampion merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang selalu hadsir ketika menyambut Imlek. --
JAKARTA – Saat perayaan tahun baru Imlek, salah satu budaya masyarakat Tionghoa adalah hadirnya ornamen yang menjadi ciri khas yakni lampion.
Ornamen lampion ini biasanya dapat ditemukan dengan mudah di vihara, pertokoan, serta rumah-rumah masyarakat Tionghoa yang merayakannya. Lampion hadir bukan hanya sebagai ornament yang digantungkan, terdapat harapan dalamnya.
Lampion juga memiliki filosofi tersendiri yang menarik untuk kamu ketahui. Kira-kira, apa ya, filosofi dari lampion yang membuatnya tidak pernah absen dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh? Memiliki sejarah panjang, tradisi memasang lampion diperkirakan sudah ada sejak era dinasti Han, di Tiongkok sekitar abad ke-3 masehi. Awalnya, lampion dibuat dengan tujuan sederhana, yaitu sebagai sumber cahaya.
Kemudian, lampion diadopsi oleh para biksu Buddha sebagai bagian dari ritual mereka pada hari ke-15 bulan pertama kalender lunar atau penanggalan Tionghoa. Atas perintah kaisar, orang-orang bergabung dalam ritual itu kemudian menyalakan lampion untuk menghormati Buddha.
Hingga era berganti ke Dinasti Tang, praktik memasang lampion kemudian berubah menjadi sebuah festival yaitu Cap Go Meh, yang hingga saat ini selalu dirayakan dalam setiap tahunnya. Terdapat legenda klasik yang berkaitan dengan makna lampion, yakni lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa bernama Nian.
Dalam kisah legenda, Nian memiliki wujud seperti seekor banteng jantan, dengan kepala singa. Nian dikisahkan sebagai pemangsa hewan ternak, tanaman, hingga anak-anak. Sehingga, kehadirannya disebut sebagai ancaman bagi para warga.
Walaupun menyeramkan, Nian memiliki ketakutan dengan tiga hal, yaitu api, suara bising, dan warna merah. Karena itu, warga menggunakan berbagai benda yang dapat mengeluarkan api, suara bising, serta warna merah.
Salah satunya adalah lampion. Hal ini pula yang membuat Imlek identik dengan warna merah dan petasan. Berkat perannya dalam menghalau kehadiran Nian, itulah mengapa lampion juga memiliki filosofi sebagai simbol keberuntungan.
Menurut penelitian dari Journal of Asian Cultural Studies, warna merah lampion dalam budaya Tionghoa dipercaya dapat meningkatkan semangat hidup dan menciptakan suasana yang optimis. Tradisi pemasangan lampion merah tidak hanya dilakukan di Tiongkok, tetapi juga di berbagai negara lain yang memiliki komunitas Tionghoa.
Di Tiongkok, Festival Lampion yang menutup rangkaian perayaan Imlek menjadi momen puncak tradisi ini. Lampion-lampion dalam berbagai bentuk dan ukuran diterbangkan ke langit sebagai simbol kebahagiaan dan harapan untuk tahun yang lebih baik.
Di Indonesia, tradisi pemasangan lampion dapat ditemukan di berbagai daerah seperti Singkawang dan Semarang. Kota-kota ini bahkan mengadakan festival khusus untuk memperingati Imlek dengan atraksi lampion raksasa yang menarik perhatian wisatawan domestik maupun internasional.
Di era modern, lampion merah telah mengalami banyak transformasi. Lampion tradisional yang terbuat dari kertas kini digantikan oleh lampion LED yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.
Lampion modern juga sering kali dihiasi dengan desain inovatif yang tetap mempertahankan elemen tradisional. Lampion tidak lagi terbatas pada perayaan Imlek, tetapi juga menjadi dekorasi di pusat perbelanjaan, hotel, dan ruang publik. Inovasi ini berhasil menjaga tradisi lampion tetap relevan di tengah perubahan zaman, tanpa kehilangan esensi budayanya.(disway/nca)