MEMBANGUN ALUR DENGAN NARASI MEMIKAT

Yohana Shera Raynardia Findi Nugrahini - Widyabasa Ahli Pertama

Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Salah satu karya sastra berbentuk prosa adalah cerita pendek atau cerpen. Seperti prosa yang lain, cerpen memiliki unsur-unsur pembangun, baik dari luar maupun dalam cerpen. Unsur-unsur pembangun dari dalam cerpen, seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, gaya bahasa, sudut pandang, dan amanat merupakan unsur instrinsik cerpen. Sementara itu, unsur-unsur pembangun dari luar cerpen, seperti latar belakang masyarakat dan penulis cerpen merupakan unsur ekstrinsik cerpen.

Dalam ulasan kali ini, cerita pendek yang akan diulas berjudul “Di Bawah Layangan Malam” karya Emmanuela Theresia Situngkir, siswa SMA Xaverius Bandar Lampung. Cerpen yang mengangkat tema kehidupan remaja tentang dua siswa SMA ini secara umum telah mengandung unsur-unsur pembangun sehingga isi cerita dapat dipahami oleh pembaca. Salah satu unsur pembangun yang menjadi penentu dalam pemahaman pembaca ini adalah alur. Terdapat beberapa jenis alur, yakni alur maju, alur mundur, dan alur campuran.

Cerita pendek karya Emmanuela ditulis dengan alur maju dengan bagian yang lengkap, yakni bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Bagian awal cerita pendek ini terlihat dari perkenalan hubungan persahabatan antara Ditya dan Egan. Keduanya berteman sejak SMP hingga barangkali saat ini duduk di bangku SMA. Sayangnya, Egan berubah sikap sejak kecanduan main gim. Ia cenderung enggan berkomunikasi dengan siapa pun, bahkan selalu menjawab ketus obrolan Ditya. Inilah yang ingin digambarkan oleh penulis, yakni fenomena remaja saat ini yang kecanduan gawai hingga tak mengindahkan orang lain. Akibatnya, remaja menjadi berjarak dengan orang lain sehingga tak lagi memiliki interaksi sosial.

Untuk mengantar cerita pendek dalam konflik, dimunculkan kehadiran guru secara tiba-tiba. Pada bagian ini terdapat pilihan kata penulis yang menggiring pembaca untuk terhanyut dalam cerita. “Bukannya sekarang mata pelajaran Matematika? Kenapa Pak Hendra yang masuk? Beliau kan guru PPKN,” keadaan di kelas menjadi riuh seketika. Mereka penasaran apa yang akan disampaikan oleh wali kelasnya. Dalam kutipan tersebut, penulis menggunakan kata riuh untuk menggambarkan ramai, gaduh, berisik. Penulis juga memanfaatkan kata seketika untuk makna segera, saat itu juga, sekarang. Pemilihan kata oleh penulis ini membuat pembaca memiliki gambaran lebih nyata mengenai suasana kelas yang begitu ramai dengan informasi yang mendadak dari guru.

Selanjutnya, penulis masuk ke bagian tengah cerita dengan terus mengangkat perkenalan akan konflik, yakni ketidaksetujuan Gilang dan Buwo untuk memasukkan Egan dalam regu berkemah. Ditya bersikukuh untuk mengajak Egan karena kasihan melihat sahabatnya mungkin tidak akan mendapatkan regu. Gilang dan Buwo pun akhirnya setuju meskipun tampak ragu-ragu. Pada bagian ini, Emmanuela juga sangat baik dalam menggambarkan situasi yang berlangsung dengan ungkapan berikut. Seperti orang bisu, Egan hanya mengangguk untuk membalas sapaannya. Gilang tersenyum paksa. Kesal juga ia dengan sikap tak acuh Egan kepadanya. Emosinya dapat terbaca melalui matanya yang menatap tajam Egan. Penulis bisa saja mengatakan bahwa Gilang sedang kesal, tetapi alih-alih melakukannya, penulis mendeskripsikannya dalam beberapa kalimat yang membuat imajinasi pembaca semakin konkret mengenai kemarahan Gilang yang mulai memanas. Pada bagian ini pula, konflik klimaks ditampilkan dengan adu mulut antara Egan dan Gilang. Egan yang tak kuasa menahan amarah pun pergi meninggalkan perkemahan dan masuk ke hutan. 

Pada bagian akhir cerita, penulis memberikan penyelesaian konflik dengan tokoh Ditya yang menyusul Egan ke dalam hutan. Mereka berdua ternyata tersesat, tetapi dengan bantuan rasi bintang yang berbentuk layang-layang, mereka dapat kembali ke perkemahan. Bagian ini terkesan tanggung dan selesai begitu saja dalam narasi. Padahal, kembalinya Ditya dan Egan ke perkemahan tak hanya sebatas fisik, tetapi juga kembalinya hubungan antara dua sahabat ini. Bahkan, tokoh Egan pun kembali dengan kesadarannya bahwa selama ini ia telah menyia-nyiakan orang di sekitarnya. Pesan ini tentu bisa disampaikan tak hanya melalui narasi di penutup cerita, tetapi juga dalam dialog, baik dialog dengan lawan tutur atau batinnya.

Selain alur, unsur pembangun lainnya yang perlu dieksplorasi oleh Emmanuela adalah tokoh. Dari awal hingga akhir cerita, Ditya digambarkan sebagai sosok pahlawan yang memiliki sifat baik dan bijaksana. Bak malaikat penolong, Ditya selalu hadir ketika Egan tidak disukai oleh teman-temannya. Kehadiran Ditya seperti sosok ideal yang mengagumkan dan barangkali cukup jarang untuk ditemukan. Karakter semacam ini dalam cerita pendek yang dekat dengan penggambaran kehidupan sehari-hari tampak seperti fantasi belaka. Penulis dapat menggambarkan sifat-sifat manusiawi seperti keragu-raguan, kesedihan akibat ditolak, dan alasan-alasan lain untuk tetap bersiteguh untuk menghidupkan tokoh. Karakter yang kuat tentu akan memberi kesan mendalam pembaca terhadap tokoh dalam cerita.

Cerpen ini telah membuktikan bahwa Emmanuela dapat menyusun alur dengan runut dan lengkap, mulai dari awal, tengah, hingga akhir dengan narasi yang memikat. Meskipun demikian, ingatlah bahwa mengembangkan karakter yang kompleks dengan kepribadian, latar belakang, dan motivasi yang berbeda dapat memperkuat isi cerita. Cari tahu bagaimana penyelesaian konflik dapat menjadi titik balik yang menguras perasaan pembaca. Teruslah berlatih untuk mengasah keterampilan dalam menulis. Salam literasi!

 

PENGIRIMAN KARYA

Siswa SMP/MTS dan SMA/SMK/MA dapat mengirimkan karya melalui posel [email protected] dengan melampirkan biodata singkat (nama, asal sekolah, kelas, nomor telepon (WA), alamat posel, dan nomor rekening bank aktif). Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Unit Layanan Terpadu Kantor Bahasa Provinsi Lampung (WA: 085171020192).

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan