“Ushh....” Alfa meringis kesakitan seraya mengusap-usap punggungnya. “Kenapa pake mukul segala, sih? Sakit tahu!”
“Untung dari mana Alfaaaa? Gila kamu! Orang lagi sedih gini dibilang untung enggak diterima, seakan-akan aku memang enggak pantas lulus,” ucapku dengan membara.
“Eh, bukan gitu, cantik. Maksudku setiap kejadian itu pasti ada hikmahnya. Kita anak cerdas, makanya Allah enggak kasih kita lulus di jalur ini.” Ia mencoba memberi pengertian kepadaku.
“Tapi Faaa, kalau memang kita anak yang cerdas, kenapa kita ditolak? Harusnya kampus-kampus itu memperebutkan siswa cerdas kayak kita, tapi malah Elisa sama Ratna yang diterima,” tukasku.
“Dengerin ya, Nona Aluna Dezara yang imut, lucu dan, menggemaskan kayak kucing anggora. Kita itu manusia pilihan. Allah mau lihat orang-orang kuat kayak kita berjuang lebih keras lagi. Allah kasih takdir ini karena Allah tahu kita mampu, Lun. Harusnya kamu bangga sama dirimu sendiri, kamu udah berani mencoba dan merasakan kegagalan.” Alfa memandang lekat wajahku, yang membuatku bungkam dan tak bisa menyangga ucapannya lagi karena kali ini yang dia katakan memang benar.
“Satu hal yang mesti kamu tahu, seorang pemuda yang digadang-gadang akan menjadi Presiden ke-10 Indonesia pernah berkata, ekhem....” Ia berdehem sebelum melanjutkan ucapannya.
“Masa depan adalah milik dia yang tidak pernah takut memeluk kegagalan!" lanjutnya dengan yakin menirukan gaya Bung Karno saat membacakan pidato di hadapan seluruh rakyat Indonesia. Aku tahu ia sedang mengkhayal bahwa dirinya adalah seorang presiden yang sangat bijaksana. Ucapannya tidak salah, tetapi caranya menyanjung diri sendiri dengan mengatakan kalau ia adalah calon presiden benar-benar menggelikan.
Aku tergelak mendengar ucapannya. Namun, aku menyadari satu hal, Alfa telah menyalurkan energi baru ke alam bawah sadarku. Dengan mudahnya ia menghilangkan kesedihanku dan perlahan membuatku menyadari bahwa apa pun yang sudah Allah takdirkan adalah yang terbaik untuk kita. Allah tak akan pernah salah memilih pundak. Allah menguji kita karena Allah yakin kita mampu melewatinya.
“So, kita berjuang lagi, ya!”
Aku mengangguk dengan mantap. Alfa menggenggam erat tanganku, seolah akan terus membersamaiku dan tak akan pernah melepaskan genggamannya dalam perjuangan ini. Genggaman tangan yang masih kurasakan sampai detik ini walaupun kami sudah tidak bersama lagi. Aku tak tahu lagi bagaimana kabar lelaki yang sudah mengantarkanku ke kampus kuning ini sekarang.
Ya, setelah hari itu aku dan Alfa semakin sering belajar bersama. Kami bersaing untuk menjadi yang terbaik. Ambisi kami mengalahkan segala rasa kecewa dan sedih ketika ditolak berulang kali oleh kampus-kampus di kota ini. Namun, rencana Allah sungguh indah. Aku berhasil masuk universitas impianku selama ini, kampus kuning Universitas Indonesia. Sementara itu, Alfa berhasil diterima di salah satu universitas terbaik di Singapura. Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu lagi.
Hai, Alfaa. Bagaimana kabarmu sekarang? Masih ingat aku, kan? Ini aku, Aluna, temanmu waktu SMA. Aku masih ingat mimpimu untuk jadi Presiden. Apa jangan-jangan, kamu benar-benar sudah jadi Presiden di Negeri Singa Tidur sana? Hahaha... Kalau nanti kamu pulang, jangan lupa temui aku, ya!
Di mana pun kamu berada dan bagaimana pun keadaanmu sekarang, semoga kamu selalu dikelilingi dengan kebahagiaan, Alfa. Jika takdir mempertemukan kita kembali, satu hal yang ingin kukatakan kepadamu, yang belum sempat kusampaikan saat kita masih bersama. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik, terima kasih karena telah menemaniku di titik terendahku, dan terima kasih atas energi positif yang sudah kamu salurkan.(*)