JAKARTA – Angka putus sekolah (APS) masih menjadi tantangan di bidang pendidikan saat ini. Bahkan, angkanya mencapai ribuan.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), ada jutaan anak Indonesia tidak bersekolah. Angka terbesar berada di usia 16–18 tahun. Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2024–2025 mencatat, APS jenjang SMK jadi salah satu terbanyak. Setidaknya ada 9.391 siswa atau 0,19 persen siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya usia SMK.
Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengungkapkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak berhenti sekolah. Pertama, karena masalah ekonomi. Kedua, tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memungkinkan mereka untuk belajar. Ketiga, perkawinan anak.
’’Tantangan pernikahan dini di negara kita ini masih sangat tinggi. Sebagian karena alasan budaya, sebagian karena alasan pemahaman,” ujar Abdul Mu’ti dalam acara Gerakan 1.000 APS SMK Berdaya Lewat Program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK) dan Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) di Jakarta
Selain ketiga alasan tersebut, kata Abdul Mu’ti, tak dipungkiri bahwa masih ada pula pandangan masyarakat yang menomorduakan pendidikan. ’’Mereka menganggap pendidikan tak lagi relevan karena bisa mendapatkan penghasilan tanpa pendidikan tinggi. ’Mereka bekerja di sektor-sektor non-formal di pertambangan. Mereka bisa mendapatkan per hari itu antara Rp300 ribu sampai Rp350 ribu,” ungkapnya.
Abdul Mu’ti mengakui pola pikir ini turut jadi tantangan tersendiri untuk mengurangi APS di Indonesia.
Di sisi lain, kata Abdul Mu’ti, masalah kian bertambah ketika APS justru tak memiliki keterampilan. ’’Mereka rentan terhadap pengangguran dan kemiskinan,’’ katanya.
Karena itu, kata Abdul Mu’ti, pihaknya menginisiasi program PKK dan PKW. Dengan menggandeng pemerintah daerah dan lembaga kursus dan pelatihan (LKP), Kemendikdasmen membantu memberikan keterampilan kerja dan berwirausaha bagi APS SMK.
’’Langkah ini menjadi komitmen kami untuk mengaktifkan kembali pendidikan nonformal. Karena saat ini yang dituntut adalah kompetensi keahlian tidak hanya ijazah,” tutur Abdul Mu’ti.