JAKARTA - Ketegangan geopolitik kembali memanas di Timur Tengah setelah Israel melancarkan serangan udara ke wilayah Iran pada Jumat (13/6) dini hari. Serangan ini mengguncang sentimen positif yang sebelumnya tumbuh di pasar global berkat kemajuan dalam negosiasi dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Kekhawatiran atas potensi konflik yang lebih luas di kawasan tersebut meningkatkan ketidakpastian di berbagai sektor investasi.
BACA JUGA:Oknum Pengacara Dilaporkan
Sebelumnya, pasar sempat menunjukkan optimisme karena harapan akan tercapainya kesepakatan perdagangan antara AS dan Tiongkok, dua ekonomi terbesar dunia, serta kemungkinan kompromi dengan mitra dagang lainnya. Namun, fokus investor kini kembali bergeser ke risiko-risiko geopolitik pasca-serangan militer Israel.
Merespons situasi ini, harga minyak Brent melonjak tajam. Ketegangan yang meningkat memicu kekhawatiran gangguan pasokan, mendorong harga Brent sempat menyentuh 76,3 dolar AS per barel, level tertingginya sejak Februari. Hingga pukul 06.20 GMT (13.20 WIB), harga Brent naik 5,4% ke posisi 73,44 dolar AS per barel.
Harga emas pun mengalami penguatan, dengan nilai tertinggi mencapai US$ 3.445 per ons sebelum stabil di sekitar US$ 3.425, naik sebesar 1,1%.
Pasar saham global turut tertekan. Indeks saham berjangka di Eropa dibuka negatif. FTSE 100 di Inggris melemah 0,3&, CAC 40 Prancis dan DAX 40 Jerman turun masing-masing 1,6%, dan FTSE MIB 30 Italia turun 0,7%.
Sementara itu di Asia, tekanan serupa juga terjadi. Indeks Nikkei 225 Jepang melemah 1,2%, Kospi Korea Selatan 1,3%, Shanghai Composite China 0,7%, dan Hang Seng Hong Kong turun 0,8%.
Serangan itu juga membuat Harga minyak dunia melonjak lebih dari 7% pada Jumat (13/6/2025) mendekati level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir, setelah Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Iran. Serangan tersebut memicu aksi balasan dari Iran dan menimbulkan kekhawatiran global terhadap potensi gangguan pasokan minyak.
Dilansir dari Reuters, kontrak berjangka Brent naik sebesar US$ 5,1 atau sekitar 7,4% menjadi US$ 74,46 per barel pada pukul 15.43 WIB, setelah sempat menyentuh level tertinggi intraday di US$ 78,50, angka tertinggi sejak 27 Januari 2025.
Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat melonjak US$ 5,1 atau 7,5% ke posisi US$ 73,15 per barel, setelah sebelumnya sempat menyentuh US$ 77,62, level tertinggi sejak 21 Januari 2025.
Israel mengeklaim telah menargetkan fasilitas nuklir Iran, pabrik rudal balistik, dan panglima militer sebagai bagian dari operasi jangka panjang untuk mencegah pembangunan senjata nuklir oleh Teheran. Menurut pernyataan Badan Energi Atom Iran, fasilitas nuklir di Natanz mengalami kerusakan, meskipun belum ditemukan kontaminasi radioaktif atau bahan kimia di luar area tersebut.
Analis dari SEB, Ole Hvalbye mengatakan kekhawatiran utama saat ini adalah apakah situasi ini akan memengaruhi Selat Hormuz, jalur pelayaran penting yang sebelumnya juga berisiko terkena dampak volatilitas kawasan. Hingga saat ini, belum ada gangguan pada aliran minyak melalui selat tersebut.
Sekitar 20% dari total konsumsi minyak dunia, atau sekitar 18 hingga 19 juta barel per hari, melewati Selat Hormuz. Dalam skenario terburuk, analis JPMorgan memperkirakan apabila selat tersebut ditutup atau negara-negara produsen minyak utama membalas secara langsung, harga minyak bisa melonjak ke kisaran US$ 120 hingga US$ 130 per barel, hampir dua kali lipat dari proyeksi saat ini.
Harga minyak melonjak lebih dari 7 persen, setelah serangan Israel ke Iran. Serangan ini telah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah dan meningkatkan kekhawatiran tentang terganggunya pasokan minyak mentah.