DPO Soroti Bawaslu Bengkulu Selatan yang Hentikan Kasus Rekayasa Penangkapan Cawabup Ii Sumirat

Rabu 14 May 2025 - 21:02 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA – Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengkritik keras keputusan Bawaslu Bengkulu Selatan yang menghentikan kasus dugaan rekayasa penangkapan calon wakil bupati nomor urut 2 Ii Sumirat pada malam pemungutan suara ulang (PSU) pilkada.
Ia menilai alasan penghentian perkara dengan dalih tidak terbukti sebagai pelanggaran merupakan bentuk kelumpuhan peran pengawasan oleh Bawaslu.
“Ini contoh buruk dari lumpuhnya Bawaslu di daerah. Tidak terlihat keseriusan untuk mengusut kasus ini. Padahal ini jelas tindak pidana pemilu, di mana korbannya adalah calon wakil bupati,” kata Dedi kepada media, Selasa (13/5).
Menurut Dedi, peristiwa tersebut terang-benderang sebagai kejahatan politik. Pelakunya pun diduga kuat adalah tim sukses paslon nomor 3, Rifai-Yevri.
Ia menyebut kasus serupa pernah terjadi di sejumlah daerah lain, namun dalam banyak kasus, Bawaslu kerap gagal bertindak tegas. Meskipun bukan lembaga penegak hukum, rekomendasi Bawaslu semestinya bisa menjadi dasar bagi aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti pelanggaran.
“Sayangnya, Bawaslu tampak kurang memiliki keterampilan memahami pelanggaran serius dalam pelaksanaan Pilkada,” tambahnya.
Dedi menyebut dua bentuk pelanggaran yang dilakukan dalam kasus ini. Pertama, dugaan intimidasi dan persekusi terhadap Ii Sumirat. Dalam kejadian itu, kendaraan yang ditumpangi Sumirat dibuntuti, dihadang, lalu digeledah oleh sekelompok orang dari tim paslon nomor 3 di tiga lokasi berbeda. Mereka bahkan merekam kejadian sambil mengeluarkan kata-kata kasar dan mempermalukan Sumirat seolah ia pelaku kejahatan.
“Kejadian itu jelas bentuk kekerasan, mengancam, dan merendahkan martabat kandidat. Jika itu dianggap bukan pidana, sangat mencederai logika hukum,” ujarnya.
Kedua, ujar Dedi, adalah penyebaran narasi fitnah yang menyebut Sumirat telah ditangkap polisi, lengkap dengan foto dan video yang dipelintir. Informasi palsu itu disebar luas melalui media sosial seperti Facebook dan WhatsApp, hingga menyebar dari mulut ke mulut di sekitar lokasi TPS.
Ia menegaskan, jika pelanggaran ini tidak ditindak, maka akan menjadi preseden buruk dan menjadi “role model” baru untuk melumpuhkan lawan politik dalam Pilkada.
“Pelaku harusnya didiskualifikasi. Ancaman dan kekerasan seharusnya dikategorikan sebagai upaya menggagalkan Pilkada yang adil dan bebas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dedi mendesak Mahkamah Konstitusi agar secara kontekstual mempertimbangkan kekerasan politik sebagai alasan yang sah untuk membela kandidat yang menjadi korban.
“MK seharusnya melihat ini sebagai bentuk pelanggaran serius yang mengancam demokrasi lokal,” pungkasnya. (jpnn/c1/abd)

Tags :
Kategori :

Terkait