BANDARLAMPUNG – Persoalan interaksi negatif antara manusia dan satwa liar di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) menjadi perhatian khusus Pemerintah Provinsi Lampung.
Hal ini mengemuka dalam audiensi antara Kepala Balai Besar TNBBS Ismanto dan Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal di kantor gubernur, Senin (14/4).
Ismanto mengungkapkan permasalahan ini terjadi akibat semakin luasnya kawasan TNBBS yang telah dirambah masyarakat, khususnya di wilayah Suoh dan Sekincau, Lampung Barat.
Berdasarkan citra satelit, sedikitnya 21 ribu hektare kawasan TNBBS kini sudah dipenuhi aktivitas manusia, bahkan terdeteksi terdapat sekitar 1.962 gubuk liar di area tersebut.
BACA JUGA:PSU Siap, Ketua KPU Sebut Semua Daerah Diperlakukan Sama
’’Permasalahan antara manusia dan satwa di dalam kawasan hutan negara bukan disebut konflik, tetapi interaksi negatif. Karena di sini, justru manusia yang masuk ke rumah satwa liar,” jelas Ismanto.
Sementara itu, interaksi antara manusia dan harimau di luar kawasan hutan diklasifikasikan sebagai konflik dan telah ditangani oleh BKSDA untuk menjaga rasa aman masyarakat. Beberapa ekor harimau bahkan telah ditangkap demi menenangkan warga.
Namun demikian, Balai Besar TNBBS terus memperkuat pengawasan di kawasan tersebut dengan melibatkan TNI dan Polri serta melakukan pemulihan ekosistem untuk menjaga fungsi hutan, termasuk dari sisi hidrologi.
Sementara, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menyatakan bahwa persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Pemprov Lampung akan segera merumuskan langkah strategis mitigasi.
“Kami sudah mengidentifikasi akar masalah dan segera menyusun opsi-opsi kebijakan untuk penanganan. Tindakan harus segera dilakukan, jangan sampai ini jadi bom waktu,” tegas Mirza.
Ia juga mengingatkan bahwa TNBBS dan TNWK adalah kawasan konservasi berstatus internasional yang harus dilindungi keberadaannya.
“Kita akan lakukan tindakan hukum, tapi juga harus dengan pendekatan yang humanis dan mempertimbangkan sisi kemanusiaan,” ujarnya.
Mirza menyebut, mayoritas perambah hutan bukan berasal dari Lampung, melainkan dari luar daerah seperti Jawa, Banten, Semendo, dan Bengkulu.
“Kalau masyarakat Lampung yang sudah lama hidup berdampingan dengan hutan, mereka menghormati gajah dan harimau. Tapi banyak pendatang baru yang merambah tanpa kesadaran konservasi,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kawanan gajah liar mengamuk dan merusak tujuh rumah singgah milik petani kopi di Dusun Peninjauan, Pekon Bumihantatai, Kecamatan Bandarnegeri Suoh, Lampung Barat, Selasa (8/4) sekitar pukul 19.00 WIB.