Calon Bupati Parimo Nizar Rahmatu Dilaporkan ke Bawaslu Menjelang PSU Pilkada

Minggu 23 Mar 2025 - 16:50 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto

JAKARTA – Menjelang pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Parigi Moutong (Parimo) pada 19 April 2025, calon bupati M. Nizar Rahmatu kembali dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Laporan ini terkait masalah syarat pencalonan, yang disampaikan oleh Fadli, warga Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi, bersama kuasa hukumnya, Muslimin Budiman, pada Jumat (21/3).
“Kami mendampingi Saudara Fadli untuk melaporkan M Nizar Rahmatu ke Bawaslu terkait syarat pencalonan dalam PSU Pilkada Parimo,” ungkap Muslimin, yang merupakan salah satu dari 10 penasihat hukum Fadli, dalam keterangan tertulis pada Sabtu (22/3).
Muslimin menjelaskan bahwa laporan ini mengacu pada dua hal, yaitu putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 72 K/PID.SUS/2015 dan surat Kejaksaan Negeri Palu Nomor: B3010A/T.6.10.PD.I/12/2024. Putusan kasasi MA menolak upaya kasasi yang diajukan oleh Nizar dalam kasus tindak pidana korupsi yang diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) Palu pada 11 September 2012. Nizar dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan denda Rp 50 juta.
“Sejak Agustus 2012, Nizar sudah tidak menjalani masa penahanan karena statusnya diubah menjadi tahanan kota tanpa perpanjangan. Namun, status hukum Nizar dalam rentang waktu dari 2012 hingga turunnya putusan MA pada 2015 masih belum jelas,” jelas Muslimin.
Menurut Muslimin, berdasarkan peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 mengenai syarat pencalonan kepala daerah, masa jeda lima tahun sejak seseorang menjalani hukuman harus benar-benar dipenuhi. Dia menekankan bahwa syarat tersebut mengharuskan calon kepala daerah untuk menyelesaikan masa hukumannya dan masa jeda yang jelas sebelum maju dalam Pilkada.
“Masa jeda lima tahun tersebut harus dihitung dengan jelas, dimulai dari pendaftaran pasangan calon. Jadi, jika masa jeda lima tahun tidak dipenuhi, maka pencalonan Nizar tidak sah,” tegas Muslimin.
Penasihat hukum lainnya, Muh Nuzul Thamrin Lapali, juga mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk lebih teliti dalam memeriksa berkas pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Parimo. Dia berharap laporan ini dapat memperbaiki proses demokrasi dan memastikan kesalahan dalam penyelenggaraan Pilkada tidak terulang.
“Penyelenggara Pilkada harus lebih profesional dalam memeriksa berkas pencalonan, karena kesalahan dalam proses ini bisa merugikan daerah dan masyarakat,” ujar Nuzul.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia memutuskan untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di Kabupaten Parigi Moutong setelah membatalkan pencalonan Amrullah Kasim Almahdaly sebagai calon bupati. MK juga memerintahkan KPU Parimo untuk menyelenggarakan PSU tanpa mengikutsertakan Amrullah dalam pemilihan 2024.
Keputusan MK ini mengacu pada kesalahan dalam DPT yang digunakan pada pemilihan sebelumnya.
Sebelumnya juga, Kasus dugaan politik uang mencuat jelang pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Barito Utara. Sembilan terduga pelaku politik uang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Jalan Simpang Pramuka II, Muara Teweh, pada Jumat (14/3) lalu.
Ke-9 orang yang ditangkap termasuk bendahara tim salah satu pasangan calon. Mereka kini diperiksa oleh Polres Barito Utara terkait dugaan tindak pidana politik uang.
Bawaslu Kabupaten Barito Utara membenarkan adanya tindak pidana politik uang tersebut dan memutuskan untuk meneruskan temuan ini ke tahap penyidikan di Polres Barito Utara.
“Kami telah melakukan klarifikasi terhadap berbagai pihak terkait, mengumpulkan fakta di lapangan, serta menelaah aspek hukum yang berlaku. Dari hasil kajian tersebut, kami memutuskan temuan ini memenuhi unsur tindak pidana pemilihan, sehingga harus ditindaklanjuti oleh kepolisian,” kata Ketua Bawaslu Barito Utara, Adam Parawansa, pada Rabu (19/3/2025).
Kasus dugaan politik uang ini dilaporkan oleh Malik Muliawan, tim hukum dan advokasi pasangan bupati dan wakil bupati nomor urut 01, Gogo Purman Jaya dan Hendro Nakalelo, pada Kamis (16/3/2025). Mereka juga menyerahkan rekomendasi pelanggaran administratif secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang diduga dilakukan tim pasangan calon 02, Akhmad Gunadi Nadalsyah dan Sastra Jaya (AGI-Saja), kepada Bawaslu Provinsi Kalteng melalui Bawaslu Barito Utara.
“Kami merasa laporan kasus ini telah memenuhi syarat formil dan materiil, sehingga kami menyerahkan rekomendasi ini untuk ditindaklanjuti oleh Bawaslu Kalteng sesuai kewenangannya,” ujar Adam.
Sebelumnya, ratusan pendukung pasangan calon nomor urut 1, Purman Jaya dan Hendro Nakalelo, menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Bawaslu Kabupaten Barito Utara pada Senin (17/3/2025). Mereka menuntut agar Bawaslu mengeluarkan rekomendasi diskualifikasi terhadap pasangan calon nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah dan Sastra Jaya (AGI-Saja), yang diduga terlibat dalam praktik politik uang.
Sebelumnya, Koordinator Tenaga Ahli Bawaslu RI Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bachtiar Baetal menyatakan bahwa pihaknya memperkuat upaya sosialisasi mengenai sanksi bagi pelaku politik uang menjelang pemilu dan pilkada mendatang.
“Penanganan kasus politik uang dalam pemilu dan pilkada memiliki perbedaan signifikan dalam hal subjek yang dapat dijerat hukum,” kata Bachtiar saat melakukan kunjungan kerja di Pontianak, Rabu (7/8).
Dia menjelaskan dalam konteks pemilu, hanya pemberi uang yang dapat dikenakan sanksi hukum, sementara dalam pilkada, baik pemberi maupun penerima uang dapat dijerat.
“Siapa pun yang menjanjikan atau memberikan uang akan dijerat. Begitu juga dengan siapa pun yang menerima uang dalam politik uang,” ujarnya.
Bawaslu juga menekankan perbedaan subjek hukum yang dapat dikenakan sanksi antara pemilu dan pilkada. Pada pemilu, subjek hukum terbatas pada tim pelaksana dan tim kampanye, sedangkan pada pilkada, subjek hukum meliputi pasangan calon, anggota partai politik, relawan, dan tim kampanye.
“Tim kampanye dan relawan yang terdaftar di KPU dapat dijerat. Untuk mereka yang tidak terdaftar, akan dikenakan sebagai pihak lainnya,” tambahnya.
Bawaslu mengingatkan masyarakat agar tidak terlibat dalam praktik politik uang, baik sebagai pemberi maupun penerima. Bachtiar mengakui bahwa praktik politik uang masih marak terjadi, baik dalam pilkada maupun pemilu.
Pada tahun 2020, tercatat sekitar 30 putusan hukum tetap terkait pelanggaran politik uang dalam konteks pemilu.
“Kami terus mengingatkan seluruh warga negara agar tidak menerima uang yang diberikan dalam konteks politik, baik dalam pilkada maupun pemilu, karena konsekuensinya berat,” kata Bachtiar.
Melalui upaya sosialisasi ini, Bawaslu berharap masyarakat semakin sadar akan risiko dan sanksi hukum yang dapat menjerat mereka jika terlibat dalam politik uang, sekaligus mengurangi praktik-praktik tidak sehat yang dapat merusak integritas pemilu dan pilkada di Indonesia. (jpnn/c1/abd)

Tags :
Kategori :

Terkait